Dakwah Tauhid

Bahasa Arab Online

Muslimah.or.id

29 Desember 2011

SEUNTAI KATA TENTANG CINTA



Cinta bagaikan gema, engkau kirimkan kepada orang-orang disekelilingmu, lalu ia kembali kepadamu.

Engkau tebarkan dilingkunganmu, ia kembali kepangkuanmu.

Apa yang engkau lihat pada orang lain engkau dapatkan pada dirimu. Mereka pun memberikan kepadamu cinta dan kasih sayang.

Engkau yang melukis jalan yang akan dilalui mereka dalam bersikap kepadamu. Jika engkau bersikap baik kepada mereka dan mencintai mereka, niscaya mereka mencintaimu.

Kalau engkau memberikan faedah untuk mereka, mereka akan memberimu faedah.

Pasti! Saling mencintai dan mengasihi itu karena dan dijalan Allah.

Dan orang yang paling pertama mendapatkan cinta dan kelembutan perasaanmu adalah orangtua, istri atau suami dan anak-anakmu.

Rasul shollalllahu ‘alaihi wa sallama bersabda,

خيركم خيركم لأهله و أنا خيركم لأهلي


“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik bagi keluarganya dan aku adalah yang paling baik bagi keluargaku”.[1]

Tidaklah tersesat banyak manusia dari jalan Robb mereka melainkan karena mereka lebih mengedepankan cinta kepada segala sesuatu melebihi cintanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Demikian juga sebagian orang yang tenggelam dalam lembah permusuhan, dengki dan dendam kesumat adalah karena hilangnya cinta dari hati mereka.

Cobalah rasakan hidup – walau sebentar – dengan merasakan cinta manusia kepadamu, sedikit atau pun banyak. Bukankah hari-hari itu akan menjadi hari-hari terindah dalam kehidupanmu?.[2]

Dengarkan firman Allah Ta’ala,

إن الذين أمنوا وعملوا الصالحات سيجعل لهم الرحمن ودا

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal sholeh Allah yang Maha pengasih akan menjadikan untuk mereka kasih-sayang”.[3]

Maksudnya cinta di hati manusia untuk mereka!

Pernahkah engkau bertanya pada dirimu sendiri, “Bagaimana diriku dengan cinta dilangit ini?”. Bukankah engkau pernah mendengar firman Allah Ta’ala dalam hadits Qudsi, “Sesungguhnya aku mencintai fulan, maka cintailah ia”. Lalu malaikat menyambutnya dengan penuh cinta dan rindu, kemudian diletakkan untuk penerimaan di muka bumi yaitu dengan cinta manusia kepadanya?!

Subhanallah!!

Seseorang dicintai Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, dicintai Jibril dan para malaikat yang menghuni langit. Kemudian Allah jadikan manusia mencintainya … alangkah indahnya hidup orang tersebut.

Salah seorang di antara kita selalu mencari dan mengharapkan cinta makhluk kepadanya. Dadanya akan serasa sesak dan lidahnya bagai kelu jika mereka membencinya. Dan ia akan terbang karena gembira jika mereka mencintainya.

Orang ini mencari cinta manusia kepadanya disetiap tempat dan pada setiap insane. Akan tetapi ia lupa – kadang-kadang atau bahkan sering – cinta Robb-nya insan. Ia lupa apakah ia termasuk orang-orang yang dicintai Allah atau sebaliknya?

Demi Allah, saudaraku!! Apa guna cinta seluruh makhluk kepada kita jika Robb pencinta seluruh makhluk membenci kita?!

Renungkan bagaimana Asiyah mendahulukan tetangga sebelum tempat tinggal dalam do’anya, “Robbku, bangunkanlah untukku di sisi-Mu sebuah rumah di dalam surga”.[4]

Bagaimana menurutmu, kalau dikatakan kepada orang-orang mukminin : pilihlah antara surga tidak ada padanya Robb kalian dan padang tandus kalian bersama Robb kalian. Menurutmu apa yang akan mereka pilih?

Oohh .. alangkah meruginya orang yang tidak pernah merasakan yang paling indah dan manis dalam kehidupan ini!

Tahukah engkau apa itu? Dicintai Allah dan mencintai-Nya.

Cinta Allah kepada hamba adalah puncak cita-cita orang-orang yang sholeh. Karena apabila Allah cinta kepada hamba-Nya, Dia ridho kepadanya, meridhoi amalan, perkataan dan hatinya. Kebahagiaan apalagi yang melebihi itu?

Katakana kepadaku sejujurnya: apakah ada seseorang yang tulus dan benar dalam mencintai kekasihnya lalu ia menyiksa kekasihnya? neraka apalagi yang ditakuti seorang hamba apabila ia dicintai Allah? (dan bagi Allah adalah perumpamaan yang lebih tinggi – walillahil Matsalil A’laa).


[1] Shohih Al Jami’ (3314).

[2] Kholid Al Ahmady, Al Hubb dengan beberapa penyesuaian.

[3] Maryam : 96.

[4] At-Tahrim : 11.




Read More...

13 Januari 2010

Sebuah Renungan Bagi Para Pencari Kerja

Segala puji bagi Allah semata, yang karena karunia-Nya lah kita mampu menuntut ilmu di bangku kuliah mempelajari ilmu dunia dan telah dinyatakan lulus dengan baik. Semua ini patut kita syukuri, agar Allah menambah kenikmatan yang Dia berikan kepada kita. Allah ta’ala berfirman:
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ لأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدُُ

”Dan (ingatlah juga), tatkala Rabbmu mengumandangkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka Sesungguhnya adzab-Ku sangat pedih”. (QS. Ibrohim: 7)

Allah ta’ala juga berfirman:
وَمَن شَكَرَ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ

”Dan barangsiapa yang bersyukur, maka sesungguhnya ia bersyukur demi (kebaikan) dirinya sendiri” (QS. An-Naml: 40)


Terlebih lagi, jika ada diantara kita yang dahulunya menyibukkan dirinya tidak hanya mempelajari ilmu dunia semata, tetapi diimbangi dengan mempelajari ’ilmu dinul Islam, rutin mengikuti pembahasan kitab-kitab para Ulama Ahlussunnah di majelis-majelis ’ilmu, baik kitab ’Aqidah, Hadits, ataupun Fiqih, menghafal al-Qur’an, menghafal hadits, mengamalkannya sampai mendakwahkannya. Ini semuanya adalah nilai tambah yang sangat berharga sebagai seorang mahasiswa yang mempelajari ’ilmu dunia, baik ilmu teknik, kedokteran, atau yang lain.

Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ

“Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan kepadanya, niscaya Allah akan pahamkan dia tentang agama(nya).” (Muttafaqun ‘alaih)

Ini semuanya kenikmatan yang patut kita syukuri, baik secara lisan maupun amalan yang shalih.
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِى بِنِعْمَتِهِ تَتِمُّ الصَّالِحَاتُ

“Segala puji hanya milik Allah Yang atas karunia-Nya segala kebaikan dapat terwujud.”

MELANGKAH KEDEPAN MENCARI REZEKI

Nabi shallallahu’alaihi wa sallam telah mendidik ummatnya melalui sabda-sabda beliau agar ummat Islam memiliki jiwa yang kuat, yaitu memiliki jiwa agar berjuang bekerja dalam menghidupi rumah tangganya, tidak suka meminta-minta. Lihatlah bagaimana didikan Nabi shallallahu’alaihi wa sallam kepada ummat ini melalui sabdanya berikut:

”Sungguh, salah seorang diantara kamu mencari kayu bakar diikat lalu diangkat di atas punggugnya lalu dijual, itu lebih baik daripada orang yang meminta-minta kepada orang lain, (yang mungkin bisa) diberi atau ditolak. (HR. Bukhori 2/152)

Nabi shallallahu’alaihi wa sallam juga bersabda:

”Senantiasa orang itu meminta-minta kepada manusia sampai datang hari kiamat, sehingga tidak ada daging sepotong pun di wajahnya”. (HR. Bukhori 5/477)

Dan merupakan kewajiban bagi seorang kepala rumah tangga, yaitu seorang suami ataupun figur ayah, untuk mencari nafkah bagi istri dan anak-anak mereka dirumah. Allah ta’ala berfirman:
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ اللهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَآأَنفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ

“Para lelaki (suami) itu pemimpin bagi para wanita (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (yang lelaki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (yang lelaki) telah memberikan nafkah dari harta mereka.” (Qs. An-Nisa: 34)

MENCARI REZEKI YANG HALAL

Nabi shallallahu’laihi wa sallam pernah bersabda:

”Sesungguhnya Allah itu baik, tidak menerima kecuali yang baik. Sesungguhnya Allah memerintahkan orang-orang beriman kepada apa yang telah diperintahkan-Nya kepada para rasul dengan firman-Nya:
يَآأَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا

”Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang shalih” (QS. Al-Mu’minun: 51)

Dan firman-Nya:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا كُلُوا مِن طَيِّبَاتِ مَارَزَقْنَاكُمْ

”Hai orang-orang yang beriman, makanlah diantara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu” (QS. Al-Baqoroh: 172)

Kemudian Nabi shallallahu’alaihi wa sallam menceritakan seorang laki-laki yang melakukan perjalanan jauh, rambutnya kusut dan berdebu lalu menengadahkan kedua tangannya ke langit seraya berkata: ’Yaa Rabb….Yaa Rabb’, sedangkan makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya dari yang haram, dicukupi dari yang haram, maka bagaimana mungkin do’anya dikabulkan!?” (HR. Muslim II/703 no. 1015).

Syaikh Utsaimin rahimahullah berkata: ”Dia tidak menerima kecuali yang baik dalam dzatnya dan baik dalam usahanya. Adapun yang buruk dalam dzatnya, seperti khamr, atau dalam usahanya, seperti rezeki yang diusahakan dengan riba, maka Allah tidak menerimanya.”[1]

Ibnu Rajab rahimahullah berkata: ”Bahwa para Rasul dan ummatnya diperintah untuk makan makanan yang halal dan menjauhkan dari yang jelek dan haram, kemudian disebutkan diakhir hadits, tidak dikabulkannya do’a seseorang disebabkan mengkonsumsi barang haram, baik makanan, minuman, pakaian dan hasil usahanya. Oleh karena itu para sahabat dan orang-orang shalih, mereka sangat berhati-hati, berusaha untuk selalu makan dari yang halal dan menjauhkan yang haram.[2]

Merupakan syarat yang mutlak bagi terwujudnya keberkahan harta kita ialah harta tersebut diperoleh dari jalan-jalan yang halal. Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

”Janganlah kamu merasa bahwa rezekimu telat datangnya, karena sesungguhnya tidaklah seorang hamba akan mati, hingga telah datang kepadanya rezeki, yaitu dengan mengambil yang halal dan meninggalkan yang haram.”[3]

Diantara hal yang akan menghapuskan keberkahan ialah berbagai bentuk praktek riba. Allah ta’ala berfirman:
يَمْحَقُ اللهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ

”Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah” (QS. Al-Baqoroh: 276)

Ibnu katsir rahimahullah berkata, ”Allah ta’ala mengabarkan bahwa ia akan memusnahkan riba, maksudnya bisa saja memusnahkannya secara keseluruhan dari tangan pemiliknya atau menghalangi pemiliknya dari keberkahan hartanya tersebut. Dengan demikian pemilik riba tidak mendapatkan kemanfaatan harta ribanya, bahkan Allah akan membinasakannya dengan harta tersebut dalam kehidupan dunia, dan kelak di hari akhirat Allah akan menyiksanya akibat harta tersebut”[4]

Penafsiran Ibnu katsir ini semakna dengan hadits berikut:

”Sesungguhnya (harta) riba, walaupun banyak jumlahnya, pada akhirnya akan menjadi sedikit.”[5]

Bila kita amati kehidupan orang-orang yang menjalankan praktek-praktek riba, niscaya kita dapatkan banyak bukti bagi kebenaran ayat dan hadits di atas. Betapa banyak pemakan riba yang hartanya berlimpah ruah, hingga tak terhitung jumlahnya, akan tetapi tidak satupun dari mereka yang merasakan keberkahan, ketentraman dan kebahagiaan dari harta haram tersebut.[6]

GAPAILAH KEBERKAHAN HARTA BUKAN BANYAKNYA HARTA

Barangkali diantara kita ada yang selalu mengimpikan bergelimang harta atas hasil usaha atau pekerjaan kita. Mengimpikan memiliki gaji yang setinggi langit belum lagi ditambah tunjangannya. Namun terkadang kita lupa bahwa hakikat kebahagiaan dalam masalah harta atau rezeki bukanlah pada banyaknya harta, tetapi pada keberkahan harta. Keberkahan harta terwujud dengan berlipat gandanya kegunaan harta tersebut, walaupun jumlahnya tidak bertambah banyak atau berlipat ganda.

Misalnya, mungkin saja seseorang yang hanya memiliki sedikit dari harta benda, akan tetapi karena harta itu penuh dengan keberkahan, maka ia terhindar dari berbagai mara bahaya, penyakit, dan tentram hidupnya. Dan sebaliknya, bisa saja seseorang yang hartanya melimpah ruah, akan tetapi karena tidak diberkahi Allah, hartanya tersebut menjadi sumber bencana, penyakit, dan bahkan mungkin ia tidak dapat memanfaatkan harta tersebut.[7]

Oleh karena itu dalam pandangan Islam, orang kaya bukanlah orang yang banyak hartanya, tetapi orang kaya adalah yang kaya hatinya. Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

”Bukanlah kekayaan itu karena banyaknya harta, tetapi kekayaan yang sebenarnya adalah kaya hati” (HR. Bukhori 8/118)

MENGGAPAI KEBERKAHAN DENGAN QONA’AH


Sifat qona’ah dan lapang dada dengan pembagian Allah ta’ala adalah kekayaan yang tidak ada bandingnya.

Pepatah mengatakan:

”Bila engkau memiliki hati yang qana’ah, maka engkau dan pemilik dunia (kaya raya) adalah sama”

”Qana’ah adalah harta yang tidak akan pernah sirna”

Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam menggambarkan keadaan orang yang dikaruniai sifat qona’ah dengan sabdanya:

”Barangsiapa dari kalian yang merasa aman di rumahnya, sehat badannya, dan ia memiliki makanan untuk hari itu, maka seakan-akan telah dikumpulkan untuknya dunia beserta isinya.”[8]

Al-Munawi rahimahullah berkata: ”Maksud hadits ini, barang siapa yang terkumpul padanya: Kesehatan badan, jiwanya merasa aman kemanapun ia pergi, kebutuhan hari tersebut tercukupi dan keluarganya dalam keadaan selamat, maka sungguh Allah telah mengumpulkan untuknya seluruh jenis kenikmatan, yang siapapun berhasil menguasai dunia tidaklah akan mendapatkan kecuali hal tersebut”.[9]

Dengan jiwa yang dipenuhi qona’ah, dan keridhaan dengan segala rezeki yang Allah turunkan untuknya, maka keberkahan akan dianugrahkan kepadanya, Nabi shallallahu’alihi wa sallam bersabda:

”Sesungguhnya Allah Yang Maha Luas Karunianya lagi Maha Tinggi, akan menguji setiap hamba-Nya dengen rezeki yang telah Dia berikan kepadanya. Barangsiapa yang ridlo dengan pembagian Allah ’azza wa jalla, maka Allah akan memberkahi dan melapangkan rezeki tersebut untuknya. Dan barangsiapa yang tidak ridlo (tidak puas), niscaya rezekinya tidak akan diberkahi”[10]

Al-Munawi rahimahullah berkata: ”Bahwa penyakit ini, (yaitu: tidak puas dengan apa yang telah Allah karuniakan kepadanya-pen) telah banyak didapatkan pada pemuja dunia, sehingga engkau dapatkan salah seorang dari mereka meremehkan rezeki yang telah dikaruniakan untuknya, merasa hartanya itu sedikit, buruk, serta mengagumi rezeki orang lain dan menganggapnya lebih bagus dan banyak.

Oleh karenanya ia akan senantiasa banting tulang untuk menambah hartanya, hingga akhirnya habislah umurnya, sirnalah kekuatannya, dan iapun menjadi tua renta (pikun) akibat dari ambisi yang tergapai dan rasa letih.

Dengan itu ia telah menyiksa tubuhnya, mengelamkan lembaran amalannya dengan berbagai dosa yang ia lakukan demi mendapatkan harta kekayaan. Padahl ia tidaklah memperoleh selaoin apa yang telah Allah tentukan untuknya. Pada akhir hayatnya ia meninggal dunia dalam keadaan pailit, ia tidak bersyukuri apa yang telah ia peroleh, dan ia juga tidak berhasil menggapai apa yang ia inginkan”.[11]

Lihatlah nasehat Nabi shallallahu’alaihi wa sallam kepada seorang sahabat yang bernama Hakim bin Hizam radliyallahua’nhu dalam cuplikan sebuah hadits:

”Wahai Hakim, sesungguhnya harta ini bak buah segar lagi manis, dan barangsiapa yang mengambilnya dengan tanpa ambisi, maka akan diberkahi untuknya harta tersebut. Dan barangsiapa yang mengambilnya dengan penuh rasa ambisi (tamak), niscaya harta tersebut tidak akan diberkahi untuknya, dan ia bagaikan orang yang makan dan tidak pernah kenyang.” (Muttafaqun ’alaihi)

Demikianlah nasehat Nabi shallallahu’alaihi wa sallam agar kita selalu qona’ah dan bersyukur atas apa yang Allah karuniakan kepada kita. Jangan sampai kita terus disibukkan oleh dunia hanya demi mendapatkan kebahagiaan yang semu, sementara urusan akhirat kita lalai. Padahal kehidupan yang lebih abadi telah menunggu kita di akhirat, Allah ta’ala berfirman:
وَاْلأَخِرَةُ خَيْرُُوَأَبْقَى

”Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.” (QS. Al-A’la: 17)

Jika kita kembali merenungkan, memang benar pada kenyataannya bahwa seorang yang kaya harta, mereka tidak akan berhenti-hentinya mencari harta yang lebih banyak lagi dan tidak merasa puas dengan apa yang dimiliki. Ini adalah tabiat yang dimiliki oleh manusia, tamak, kecuali yang dirahmati oleh Allah yaitu dari mereka yang kaya hati dan selalu bersyukur juga qona’ah atas apa yang Allah karuniakan kepadanya. Perhatikanlah apa yang telah disampaikan oleh Nabi shallallahu’alaihi wa sallam tentang perumpamaannya. Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

”Andai seorang manusia telah memiliki dua lembah harta benda (emas), niscaya ia masih menginginkan untuk mendapatkan lembah ketiga. Dan tidak akan pernah ada yang dapat memenuhi perut manusia selain tanah. Dan Allah akan menerima taubat orang yang bertaubat/ kembali (dari perangai buruk tersebut-pen) (Muttafaqun’alaih)

Semoga kita termasuk diantara orang-orang yang bertaubat tersebut dan selalu bersyukur dan qona’ah atas apa yang Allah karuniakan kepada kita.
اَللّٰهُمَّ قَنِّعْنِي بِمَارَزَقْتَنِيْ، وَبَارِكْ لِيْ فِيهِ، وَاخْلُفْ عَلٰى كُلِّ غَا ئِبَةٍِ لِيْ بِخَيْرٍِ

”Yaa Allah, jadikanlah aku merasa qana’ah (merasa cukup, puas, rela) terhadap apa yang telah Engkau rizkikan kepadaku, dan berilah berkah kepadaku di dalamnya dan gantikanlah bagiku semua yang hilang dariku dengan yang lebih baik.” [12]

Ditulis oleh: Maramis Setiawan


Referensi:
Kumpulan Do’o dari al-Qur’an dan as-Sunnah yang Shahih, oleh Ust. Yazid bin Abdul Qadir Jawwas, penerbit Pustaka Imam Syafi’i, Jakarta.
12 Kiat-Kiat Ngalap Berkah, oleh. Ust. Dr. Muhammad Arifin bin Badri, MA, penerbit Pustaka Darul ’Ilmi, Bogor
Syarah Hadits Arbain, penyusun: Sayyid bin Ibrahim al-Huwaithi, penerbit Darul Haq, Jakarta.
Majalah al-Furqon Edisi 1, th. Ke-9 Syaban1430/Agustus 2009

Catatan Kaki


[1] Syarah Arbain Nawawi

[2] Jaami’ul ‘Uluul wal Hikam hal. 198 tahqiq Thariq bin ‘Awadhullah, dinukil dari Kumpulan Do’a dari al-Qur’an dan as-Sunnah yang Shahih oleh Ust. Yazid bin Abdul Qadir Jawwas.

[3] HR. Ibnu Majah, ’Abdurrazzaq, Ibnu Hibban, dan Al-Hakim, serta dishahihkan oleh al-Albani

[4] Tafsir Ibnu Katsir, 1/328

[5] HR. Imam Ahmad, Ath-Thabrani, Al-Hakim dan dihasankan oleh Ibnu Hajar dan al-Albani

[6] Dinukil dari “12 Kiat-Kiat Ngalap Berkah” hal. 99- 100

[7] Idem, hal. 8

[8] HR. at-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ath-Thabrani, Ibnu Hibban dan al-Baihaqi

[9] Faidhul Qadir oleh Al-Munawi, 9/387

[10] HR. Imam Ahmad dan dishahihkan oleh al-Albani

[11] Faidhul Qadir oleh Al-Munawi, 2/236

[12] Ini adalah doa agar kita diberikan riziki, qana’ah dan keberkahan, doa ini diriwayatkan oleh Al-Hakim I/510, dan dishahihkan oleh Imam Adz-Dzahabi, Dari Ibnu ’Abbar Radliyallahu’anhu. Dinukil dari ‘Kumpulan Do’o dari al-Qur’an dan as-Sunnah yang Shahih’, oleh Ust. Yazid bin Abdul Qadir Jawwas, penerbit Pustaka Imam Syafi’i, Jakarta.

maramissetiawan.wordpress.com


Read More...

Hati2 10 Perusak Keislaman Kita…!!!

Penulis: Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Al-Wash

Salah seorang ulama Ahlus Sunnah dari negeri Yaman, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Al-Washabi, menulis dalam kitab beliau yang ringkas “Al-Qaulul Mufid fi Adillati At-Tauhid,” sepuluh sebab yang menyebabkan batalnya keislaman seseorang. Tidak seperti batalnya jenis-jenis ibadah lain di dalam Islam yang tidak mengeluarkan seseorang dari agama, batalnya keislaman berakibat fatal kepada pelakunya di dunia dan di akhirat.

Sepuluh Pembatal Keislaman itu ialah:
1. Syirik
2. Murtad
3. Tidak mengkafirkan orang kafir
4. Meyakini kebenaran hukum thaghut
5. Membenci sunnah Rasul, meskipun
diamalkan
6. Mengolok-ngolok agama
7. Sihir
8. Menolong orang kafir untuk memerangi
kaum muslimin
9. Meyakini bolehnya keluar dari syariat Allah
10.Tidak mau mempelajari dan mengamalkan
agama

Mari kita jadikan tulisan beliau sebagai bahan koreksi bagi kita semua, jangan sampai gara-gara kebodohan dan kelalaian kita selama ini keislaman kita sudah tidak lagi diakui Allah Ta’ala. Berikut adalah tulisan beliau yang sudah diringkas. (redaksi).

Pertama, Syirik kepada Allah, yaitu menjadikan perantara (sekutu) antara si hamba dengan Allah. Si hamba berdoa kepada para perantara ini, meminta syafa’at, bertawakkal, beristighatsah kepada mereka, bernazar untuk mereka, dan menyembelih kurban dengan menyebut nama mereka. Si hamba berkeyakinan segala perbuatannya tersebut dapat menolak mudharat atau mendatangkan manfaat. Orang yang semacam ini telah kafir.

Berfirman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ (48)
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.”(An-Nisa: 48)

Dan firman Allah :
إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَار
“Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun.” (Al Maidah: 72)
Kedua, murtad dari Islam. Masuk dan memeluk agama Yahudi, Nasrani, Majusi, Komunisme, Ba’tsi, paham sekuler, Freemasonry, dan faham-faham kufur lainnya.

Allah berfirman :
وَلَا يَزَالُونَ يُقَاتِلُونَكُمْ حَتَّى يَرُدُّوكُمْ عَنْ دِينِكُمْ إِنِ اسْتَطَاعُوا وَمَنْ يَرْتَدِدْ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَأُولَئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
“Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (Al-Baqarah, 217)

Allah Ta’ala berfirman :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا مَنْ يَرْتَدَّ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللَّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا يَخَافُونَ لَوْمَةَ لَائِمٍ ذَلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mu’min, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui..” (Al Maidah: 54)

Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ ارْتَدُّوا عَلَى أَدْبَارِهِمْ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ الْهُدَى الشَّيْطَانُ سَوَّلَ لَهُمْ وَأَمْلَى لَهُمْ(25)ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا لِلَّذِينَ كَرِهُوا مَا نَزَّلَ اللَّهُ سَنُطِيعُكُمْ فِي بَعْضِ الْأَمْرِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ إِسْرَارَهُمْ(26)فَكَيْفَ إِذَا تَوَفَّتْهُمُ الْمَلَائِكَةُ يَضْرِبُونَ وُجُوهَهُمْ وَأَدْبَارَهُمْ(27)ذَلِكَ بِأَنَّهُمُ اتَّبَعُوا مَا أَسْخَطَ اللَّهَ وَكَرِهُوا رِضْوَانَهُ فَأَحْبَطَ أَعْمَالَهُمْ(28)أَمْ حَسِبَ الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ أَنْ لَنْ يُخْرِجَ اللَّهُ أَضْغَانَهُمْ(29) وَلَوْ نَشَاءُ لَأَرَيْنَاكَهُمْ فَلَعَرَفْتَهُمْ بِسِيمَاهُمْ وَلَتَعْرِفَنَّهُمْ فِي لَحْنِ الْقَوْلِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ أَعْمَالَكُمْ(30)
“Sesungguhnya orang-orang yang kembali ke belakang (kepada kekafiran) sesudah petunjuk itu jelas bagi mereka, syaitan telah menjadikan mereka mudah (berbuat dosa) dan memanjangkan angan-angan mereka. Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka (orang-orang munafik) itu berkata kepada orang-orang yang benci kepada apa yang diturunkan Allah (orang-orang Yahudi): “Kami akan mematuhi kamu dalam beberapa urusan”, sedang Allah mengetahui rahasia mereka. Bagaimanakah (keadaan mereka) apabila malaikat (maut) mencabut nyawa mereka seraya memukul muka mereka dan punggung mereka? Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka mengikuti apa yang menimbulkan kemurkaan Allah dan (karena) mereka membenci (apa yang menimbulkan) keridhaan-Nya; sebab itu Allah menghapus (pahala) amal-amal mereka. Atau apakah orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya mengira bahwa Allah tidak akan menampakkan kedengkian mereka? Dan kalau Kami menghendaki, niscaya Kami tunjukkan mereka kepadamu sehingga kamu benar-benar dapat mengenal mereka dengan tanda-tandanya. Dan kamu benar-benar akan mengenal mereka dari kiasan-kiasan perkataan mereka dan Allah mengetahui perbuatan-perbuatan kamu.” (Muhammad, 25-30)

Dan Allah berfirman,
الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ إِذَا ءَاتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ وَلَا مُتَّخِذِي أَخْدَانٍ وَمَنْ يَكْفُرْ بِالْإِيمَانِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ(5)
“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari akhirat termasuk orang-orang merugi.” (Al Maidah ayat 5).

Dari Ibnu Abbas Rahuma katanya: “Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Barangsiapa yang mengubah agamanya, maka bunuhlah dia!’”(Riwayat Bukhari, No.. 2854)

Dari Abdullah bin Mas’ud RA, beliau berkata: “Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda: ‘Tidak halal (menumpahkan darah seorang muslim) yang bersaksi bahwa tidak ada yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah, dan bersaksi pula bahwa aku adalah utusan Allah, kecuali dengan tiga perkara: orang sudah menikah tapi berzina, orang yang membunuh jiwa (tanpa hak), dan orang yang meninggalkan agama dan memisahkan diri dari jamaah.” (Bukhari 6484, Muslim 1674)

Ketiga, tidak mengkafirkan orang yang jelas-jelas kafir. Baik itu Yahudi, Nasrani (Kristen/Katolik), Majusi, Musyrik, Atheis, atau lainnya dari jenis bentuk kekufuran. Atau, meragukan kekafiran mereka, membenarkan mazhab dan pemikiran mereka. Yang demikian ini juga dihukumi kafir. Allah sendiri telah mengkafirkan, namun orang ini menentang dengan mengambil sikap yang berlawanan dengan ketentuan Allah dan Rasul-Nya. Karena itu, tidak mengkafirkan orang yang dikafirkan Allah, ragu, dan bahkan membenarkan mazhab mereka, sama dengan artinya berpaling dari keputusan Allah.

Allah berfirman :
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا أُولَئِكَ هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّةِ(6)
“Sesungguhnya orang-orang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk.” (Al-Bayyinah:6)

Yang dimaksud dengan ahli kitab adalah Yahudi dan Nasrani. Sedangkan yang dimaksud dengan musyrikin ialah orang yang menyembah Allah sekaligus menyembah sesembahan yang lain.

Allah berfirman :
لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ قُلْ فَمَنْ يَمْلِكُ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا إِنْ أَرَادَ أَنْ يُهْلِكَ الْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَأُمَّهُ وَمَنْ فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا وَلِلَّهِ مُلْكُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا يخْلُقُ مَا يَشَاءُ وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ(17)
“Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: “Sesungguhnya Allah itu ialah Al Masih putera Maryam”. Katakanlah: “Maka siapakah (gerangan) yang dapat menghalang-halangi kehendak Allah, jika Dia hendak membinasakan Al Masih putera Maryam itu beserta ibunya dan seluruh orang-orang yang berada di bumi semuanya?” Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan apa yang di antara keduanya; Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (Al-Maidah: 17)

لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ وَقَالَ الْمَسِيحُ يَابَنِي إِسْرَائِيلَ اعْبُدُوا اللَّهَ رَبِّي وَرَبَّكُمْ إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ
“Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: “Sesungguhnya Allah adalah Al Masih putera Maryam”, padahal Al Masih (sendiri) berkata: “Hai Bani Israil, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu” Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun.” (Al-Maidah : 72)

Allah berfirman
لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ ثَالِثُ ثَلَاثَةٍ وَمَا مِنْ إِلَهٍ إِلَّا إِلَهٌ وَاحِدٌ وَإِنْ لَمْ يَنْتَهُوا عَمَّا يَقُولُونَ لَيَمَسَّنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ(73)
“Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan: “Bahwasanya Allah salah satu dari yang tiga”, padahal sekali-kali tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Tuhan Yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir di antara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih.” (Al-Maidah: 73).

Allah berfirman
إِنَّ الَّذِينَ يَكْفُرُونَ بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ وَيُرِيدُونَ أَنْ يُفَرِّقُوا بَيْنَ اللَّهِ وَرُسُلِهِ وَيَقُولُونَ نُؤْمِنُ بِبَعْضٍ وَنَكْفُرُ بِبَعْضٍ وَيُرِيدُونَ أَنْ يَتَّخِذُوا بَيْنَ ذَلِكَ سَبِيلًا(150)أُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ حَقًّا وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ عَذَابًا مُهِينًا(151)
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasu-rasul-Nya, dan bermaksud memperbedakan antara (keimanan kepada) Allah dan rasul-rasul-Nya, dengan mengatakan: “Kami beriman kepada yang sebahagian dan kami kafir terhadap sebahagian (yang lain)”, serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan (tengah) di antara yang demikian (iman atau kafir), merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir itu siksaan yang menghinakan.” (An-Nisa: 150-151)

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَقَدْ نَزَّلَ عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ أَنْ إِذَا سَمِعْتُمْ ءَايَاتِ اللَّهِ يُكْفَرُ بِهَا وَيُسْتَهْزَأُ بِهَا فَلَا تَقْعُدُوا مَعَهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ إِنَّكُمْ إِذًا مِثْلُهُمْ إِنَّ اللَّهَ جَامِعُ الْمُنَافِقِينَ وَالْكَافِرِينَ فِي جَهَنَّمَ جَمِيعًا(140)
“Dan sungguh Allah telah menurunkan kepada kamu di dalam Al Qur’an bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua orang-orang munafik dan orang-orang kafir di dalam Jahannam,” (An-Nisa’:140)

Keempat, orang yang meyakini bahwa petunjuk selain Nabi lebih sempurna daripada petunjuk beliau. Atau, meyakini bahwa hukum selain hukumnya lebih baik. Seperti orang-orang yang lebih mengutamakan hukum thagut daripada hukum-hukum-Nya. Termasuk ke dalamnya orang yang beryakinan bahwa aturan dan perundangan yang dibuat oleh manusia lebih utama daripada syariat Islam. Atau, meyakini bahwa hukum-hukum Islam tidak layak diterapkan pada masa sekarang. Atau, meyakini bahwa Islam merupakan penyebab kemunduran kaum muslimin.

Atau, meyakini bahwa Islam itu sebatas hubungan seorang hamba dengan tuhannya, dan tidak mencakup perkara-perkara kehidupan lainnya.

Termasuk dalam kategori ini adalah orang yang berpandangan bahwa pelaksanaan hukum Allah dalam masalah memotong tangan pencuri, atau merajam pelaku zina muhshan (yang sudah pernah nikah, red), tidak relevan dengan kondisi sekarang.

Juga termasuk ke dalamnya orang yang meyakini bolehnya berhukum dengan selain hukum Allah dalam muamalah, penerapan hukum pidana, dan yang lainnya. Meskipun dia tidak meyakini bahwa hal itu lebih baik daripada hukum yang ditetapkan oleh syariat Islam. Lantaran dengan begitu dia telah menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah. Dan setiap orang yang menghalalkan apa yang diharamkan Allah dan Rasul-Nya dari perkara-perkara agama yang sudah pasti secara ijma’ seperti zina, riba, khamr, dan berhukum dengan selain syariat Allah maka dia itu kafir berdasarkan kesepakatan kaum muslimin.

Allah Ta’ala berfirman :
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ(50)
“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (Al-Maidah : 50)
إِنَّا أَنْزَلْنَا التَّوْرَاةَ فِيهَا هُدًى وَنُورٌ يَحْكُمُ بِهَا النَّبِيُّونَ الَّذِينَ أَسْلَمُوا لِلَّذِينَ هَادُوا وَالرَّبَّانِيُّونَ وَالْأَحْبَارُ بِمَا اسْتُحْفِظُوا مِنْ كِتَابِ اللَّهِ وَكَانُوا عَلَيْهِ شُهَدَاءَ فَلَا تَخْشَوُا النَّاسَ وَاخْشَوْنِ وَلَا تَشْتَرُوا بِآيَاتِي ثَمَنًا قَلِيلًا وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ(44)
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan Kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. Dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (Al-Maidah : 44)

وَكَتَبْنَا عَلَيْهِمْ فِيهَا أَنَّ النَّفْسَ بِالنَّفْسِ وَالْعَيْنَ بِالْعَيْنِ وَالْأَنْفَ بِالْأَنْفِ وَالْأُذُنَ بِالْأُذُنِ وَالسِّنَّ بِالسِّنِّ وَالْجُرُوحَ قِصَاصٌ فَمَنْ تَصَدَّقَ بِهِ فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَهُ وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ(45)
“Dan kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada kisasnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak kisas) nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.” (Al-Maidah :45)

وَلْيَحْكُمْ أَهْلُ الْإِنْجِيلِ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فِيهِ وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ(47)
“Dan hendaklah orang-orang pengikut Injil, memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah di dalamnya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik..” (Al-Maidah : 47)

إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ وَمَا اخْتَلَفَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ إِلَّا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًا بَيْنَهُمْ وَمَنْ يَكْفُرْ بِآيَاتِ اللَّهِ فَإِنَّ اللَّهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ(19)
“Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya.” (Ali Imran : 19)

وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ(85)
“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (Ali Imran : 85)

إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا بِآيَاتِنَا سَوْفَ نُصْلِيهِمْ نَارًا كُلَّمَا نَضِجَتْ جُلُودُهُمْ بَدَّلْنَاهُمْ جُلُودًا غَيْرَهَا لِيَذُوقُوا الْعَذَابَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَزِيزًا حَكِيمًا(56)
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Kami, kelak akan Kami masukkan mereka ke dalam neraka. Setiap kali kulit mereka hangus, Kami ganti kulit mereka dengan kulit yang lain, supaya mereka merasakan azab. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Ali Imran : 56)

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا(65)
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.”
(An Nisaa :65).
Kelima, orang yang membenci apa yang dibawa oleh Rasul Shallallahu ‘alaihi wasallam. Kendati dia tetap mengamalkannya. Maka, orang ini dihukumi kafir.
وَالَّذِينَ كَفَرُوا فَتَعْسًا لَهُمْ وَأَضَلَّ أَعْمَالَهُمْ(8)ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ كَرِهُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأَحْبَطَ أَعْمَالَهُمْ(9)
“Dan orang-orang yang kafir maka kecelakaanlah bagi mereka dan Allah menghapus amal-amal mereka.. Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka benci kepada apa yang diturunkan Allah (Al Qur’an) lalu Allah menghapuskan (pahala-pahala) amal-amal mereka.” (Muhammad:8-9)

إِنَّ الَّذِينَ ارْتَدُّوا عَلَى أَدْبَارِهِمْ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ الْهُدَى الشَّيْطَانُ سَوَّلَ لَهُمْ وَأَمْلَى لَهُمْ(25)ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا لِلَّذِينَ كَرِهُوا مَا نَزَّلَ اللَّهُ سَنُطِيعُكُمْ فِي بَعْضِ الْأَمْرِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ إِسْرَارَهُمْ(26)فَكَيْفَ إِذَا تَوَفَّتْهُمُ الْمَلَائِكَةُ يَضْرِبُونَ وُجُوهَهُمْ وَأَدْبَارَهُمْ(27)ذَلِكَ بِأَنَّهُمُ اتَّبَعُوا مَا أَسْخَطَ اللَّهَ وَكَرِهُوا رِضْوَانَهُ فَأَحْبَطَ أَعْمَالَهُمْ(28)
“Sesungguhnya orang-orang yang kembali ke belakang (kepada kekafiran) sesudah petunjuk itu jelas bagi mereka, syaitan telah menjadikan mereka mudah (berbuat dosa) dan memanjangkan angan-angan mereka. Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka (orang-orang munafik) itu berkata kepada orang-orang yang benci kepada apa yang diturunkan Allah (orang-orang Yahudi): “Kami akan mematuhi kamu dalam beberapa urusan”, sedang Allah mengetahui rahasia mereka. Bagaimanakah (keadaan mereka) apabila malaikat (maut) mencabut nyawa mereka seraya memukul muka mereka dan punggung mereka? Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka mengikuti apa yang menimbulkan kemurkaan Allah dan (karena) mereka membenci (apa yang menimbulkan) keridhaan-Nya; sebab itu Allah menghapus (pahala) amal-amal mereka.” (Muhammad: 25-28)

Keenam, orang yang memperolok-olok Allah atau Rasul-Nya, Al-Qur`an, agama Islam, malaikat, dan para ulama yakni ilmu yang dihasung ulama tersebut. Atau, memperolok-olok salah satu syiar Islam, seperti shalat, zakat, puasa, haji, thawaf di Ka’bah, wukuf di Arafah, masjid, azan, jenggot, sunnah-sunnah Nabi, dan lain-lain dari syiar-syiar Allah dan kesucian Islam, maka orang yang semacam ini dihukumi kafir.
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُلْ أَبِاللَّهِ وَءَايَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ(65)لَا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ إِنْ نَعْفُ عَنْ طَائِفَةٍ مِنْكُمْ نُعَذِّبْ طَائِفَةً بِأَنَّهُمْ كَانُوا مُجْرِمِينَ(66)
“Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab: “Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja”. Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” Tidak usah kamu minta ma`af, karena kamu kafir sesudah beriman. Jika Kami mema`afkan segolongan daripada kamu (lantaran mereka taubat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa.” (At-Taubah :65,66)

إِنَّ الَّذِينَ أَجْرَمُوا كَانُوا مِنَ الَّذِينَ ءَامَنُوا يَضْحَكُونَ(29)وَإِذَا مَرُّوا بِهِمْ يَتَغَامَزُونَ(30)وَإِذَا انْقَلَبُوا إِلَى أَهْلِهِمُ انْقَلَبُوا فَكِهِينَ(31)وَإِذَا رَأَوْهُمْ قَالُوا إِنَّ هَؤُلَاءِ لَضَالُّونَ(32)وَمَا أُرْسِلُوا عَلَيْهِمْ حَافِظِينَ(33)فَالْيَوْمَ الَّذِينَ ءَامَنُوا مِنَ الْكُفَّارِ يَضْحَكُونَ(34)عَلَى الْأَرَائِكِ يَنْظُرُونَ(35)هَلْ ثُوِّبَ الْكُفَّارُ مَا كَانُوا يَفْعَلُونَ(36)
“Sesungguhnya orang-orang yang berdosa, adalah mereka yang dahulunya (di dunia) menertawakan orang-orang yang beriman. Dan apabila orang-orang yang beriman lalu di hadapan mereka, mereka saling mengedip-ngedipkan matanya. Dan apabila orang-orang berdosa itu kembali kepada kaumnya, mereka kembali dengan gembira. Dan apabila mereka melihat orang-orang mu’min, mereka mengatakan: “Sesungguhnya mereka itu benar-benar orang-orang yang sesat”, padahal orang-orang yang berdosa itu tidak dikirim untuk penjaga bagi orang-orang mu’min. Maka pada hari ini, orang-orang yang beriman menertawakan orang-orang kafir, mereka (duduk) di atas dipan-dipan sambil memandang. Sesungguhnya orang-orang kafir telah diberi ganjaran terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan.” (Muthaffifin:29-36)

وَإِذَا رَأَيْتَ الَّذِينَ يَخُوضُونَ فِي ءَايَاتِنَا فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ وَإِمَّا يُنْسِيَنَّكَ الشَّيْطَانُ فَلَا تَقْعُدْ بَعْدَ الذِّكْرَى مَعَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ(68)
“Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain. Dan jika syaitan menjadikan kamu lupa (akan larangan ini), maka janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang zalim itu sesudah teringat (akan larangan itu).” (Al-An’am :68)

وَقَدْ نَزَّلَ عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ أَنْ إِذَا سَمِعْتُمْ ءَايَاتِ اللَّهِ يُكْفَرُ بِهَا وَيُسْتَهْزَأُ بِهَا فَلَا تَقْعُدُوا مَعَهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ إِنَّكُمْ إِذًا مِثْلُهُمْ إِنَّ اللَّهَ جَامِعُ الْمُنَافِقِينَ وَالْكَافِرِينَ فِي جَهَنَّمَ جَمِيعًا(140)
“Dan sungguh Allah telah menurunkan kepada kamu di dalam Al Qur’an bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua orang-orang munafik dan orang-orang kafir di dalam Jahannam,” (An-Nisa’ :140)

ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ حُرُمَاتِ اللَّهِ فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ عِنْدَ رَبِّهِ وَأُحِلَّتْ لَكُمُ الْأَنْعَامُ إِلَّا مَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ فَاجْتَنِبُوا الرِّجْسَ مِنَ الْأَوْثَانِ وَاجْتَنِبُوا قَوْلَ الزُّورِ(30)
“Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan apa-apa yang terhormat di sisi Allah maka itu adalah lebih baik baginya di sisi Tuhannya. Dan telah dihalalkan bagi kamu semua binatang ternak, terkecuali yang diterangkan kepadamu keharamannya, maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan dusta.”(Al-Hajj :30)

ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ(32)
“Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syi`ar-syi`ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” (Al-Hajj :32)

Ketujuh, sihir. Di antaranya ialah ash-sharf dan al-‘athf. Adapun ash-sharf ialah praktik sihir yang bertujuan mengubah hasrat dan keinginan manusia, seperti memalingkan kecintaan seorang suami kepada istrinya, dan sebaliknya. Adapun al-athf ialah praktik sihir yang dapat membuat orang menjadi cenderung mencintai sesuatu yang tadinya biasa-biasa saja dengan cara-cara syaitan.
وَاتَّبَعُوا مَا تَتْلُو الشَّيَاطِينُ عَلَى مُلْكِ سُلَيْمَانَ وَمَا كَفَرَ سُلَيْمَانُ وَلَكِنَّ الشَّيَاطِينَ كَفَرُوا يُعَلِّمُونَ النَّاسَ السِّحْرَ وَمَا أُنْزِلَ عَلَى الْمَلَكَيْنِ بِبَابِلَ هَارُوتَ وَمَارُوتَ وَمَا يُعَلِّمَانِ مِنْ أَحَدٍ حَتَّى يَقُولَا إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلَا تَكْفُرْ فَيَتَعَلَّمُونَ مِنْهُمَا مَا يُفَرِّقُونَ بِهِ بَيْنَ الْمَرْءِ وَزَوْجِهِ وَمَا هُمْ بِضَارِّينَ بِهِ مِنْ أَحَدٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ وَيَتَعَلَّمُونَ مَا يَضُرُّهُمْ وَلَا يَنْفَعُهُمْ وَلَقَدْ عَلِمُوا لَمَنِ اشْتَرَاهُ مَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ مِنْ خَلَاقٍوَلَبِئْسَ مَا شَرَوْا بِهِ أَنْفُسَهُمْ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ(102)
“Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-syaitan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya syaitan-syaitan itulah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babil yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorangpun sebelum mengatakan: “Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir”. Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan isterinya. Dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorangpun kecuali dengan izin Allah. Dan mereka mempelajari sesuatu yang memberi mudharat kepadanya dan tidak memberi manfaat. Demi, sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barangsiapa yang menukarnya (kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di akhirat dan amat jahatlah perbuatan mereka menjual dirinya dengan sihir, kalau mereka mengetahui.” (Al-Baqarah : 102)

Dari Abdullah bin Mas’ud Radiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya jampi-jampi, tamimah (Penangkal pada anak-anak untuk menolak penyakit ‘ain atau bala, red), dan thiwalah (Semacam jimat supaya suami cinta istri atau sebaliknya , red) itu syirik.” (Riwayat Abu Dawud No..3883, dihasankan Syaikh Muqbil dalam Ash-Shahihul Musnad II/17-18, dishahihkan Syaikh Al-Albani dalam Shahihul Jami’ No.1632 dan di dalam Silsilah Ash-Shahihah No.331, dan dishahihkan Imam Hakim IV/217 dan disepakati oleh Imam Adz-Dzahabi, juga diriwayatkan Ibnu Majah No.3530, Thabrani dalam Al-Kabir X/262, Ibnu Hibban XIII/456, Al-Baihaqi IX/350)

Kedelapan, membantu orang-orang kafir memerangi kaum muslimin.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ(51)
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (Al-Maidah : 51)

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنْ تُطِيعُوا فَرِيقًا مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ يَرُدُّوكُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ كَافِرِينَ(100) وَكَيْفَ تَكْفُرُونَ وَأَنْتُمْ تُتْلَى عَلَيْكُمْ ءَايَاتُ اللَّهِ وَفِيكُمْ رَسُولُهُ وَمَنْ يَعْتَصِمْ بِاللَّهِ فَقَدْ هُدِيَ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ(101)
“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu mengikuti sebahagian dari orang-orang yang diberi Al Kitab, niscaya mereka akan mengembalikan kamu menjadi orang kafir sesudah kamu beriman. Bagaimanakah kamu (sampai) menjadi kafir, padahal ayat-ayat Allah dibacakan kepada kamu, dan Rasul-Nya pun berada di tengah-tengah kamu? Barangsiapa yang berpegang teguh kepada (agama) Allah maka sesungguhnya ia telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus.”
(Ali Imran : 100,101)

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنْ تُطِيعُوا الَّذِينَ كَفَرُوا يَرُدُّوكُمْ عَلَى أَعْقَابِكُمْ فَتَنْقَلِبُوا خَاسِرِينَ(149)بَلِ اللَّهُ مَوْلَاكُمْ وَهُوَ خَيْرُ النَّاصِرِينَ(150)
“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menta`ati orang-orang yang kafir itu, niscaya mereka mengembalikan kamu ke belakang (kepada kekafiran), lalu jadilah kamu orang-orang yang rugi. Tetapi (ikutilah Allah), Allahlah Pelindungmu, dan Dia-lah sebaik-baik Penolong.” (Ali Imran : 149-150)

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ تُلْقُونَ إِلَيْهِمْ بِالْمَوَدَّةِ وَقَدْ كَفَرُوا بِمَا جَاءَكُمْ مِنَ الْحَقِّ يُخْرِجُونَ الرَّسُولَ وَإِيَّاكُمْ أَنْ تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ رَبِّكُمْ إِنْ كُنْتُمْ خَرَجْتُمْ جِهَادًا فِي سَبِيلِي وَابْتِغَاءَ مَرْضَاتِي تُسِرُّونَ إِلَيْهِمْ بِالْمَوَدَّةِ وَأَنَا أَعْلَمُ بِمَا أَخْفَيْتُمْ وَمَا أَعْلَنْتُمْ وَمَنْ يَفْعَلْهُ مِنْكُمْ فَقَدْ ضَلَّ سَوَاءَ السَّبِيلِ(1) إِنْ يَثْقَفُوكُمْ يَكُونُوا لَكُمْ أَعْدَاءً وَيَبْسُطُوا إِلَيْكُمْ أَيْدِيَهُمْ وَأَلْسِنَتَهُمْ بِالسُّوءِ وَوَدُّوا لَوْ تَكْفُرُونَ(2)
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu, mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu beriman kepada Allah, Tuhanmu. Jika kamu benar-benar keluar untuk berjihad pada jalan-Ku dan mencari keridhaan-Ku (janganlah kamu berbuat demikian). Kamu memberitahukan secara rahasia (berita-berita Muhammad) kepada mereka, karena rasa kasih sayang. Aku lebih mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan. Dan barangsiapa di antara kamu yang melakukannya, maka sesungguhnya dia telah tersesat dari jalan yang lurus. (Mumtahanah : 1-2)

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَتَوَلَّوْا قَوْمًا غَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ قَدْ يَئِسُوا مِنَ الْآخِرَةِ كَمَا يَئِسَ الْكُفَّارُ مِنْ أَصْحَابِ الْقُبُورِ(13)
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu jadikan penolongmu kaum yang dimurkai Allah, sesungguhnya mereka telah putus asa terhadap negeri akhirat sebagaimana orang-orang kafir yang telah berada dalam kubur berputus asa.” (Mumtahanah : 13)

Kesembilan, orang yang meyakini bahwa ada manusia yang boleh keluar dari syariat Muhammad sebagaimana bolehnya Khidir keluar dari syariatnya Musa AS maka orang yang semacamn ini pu dihukumi kafir. Karena menurutnya, Nabi itu diutus pada suatu kaum tertentu, dan setiap orang tidak mwajib mengikutinya.

Adapun nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam diutuskan kepada sluruh umat Manusia, sehingga tidak dihalalkan bagvi siapapun menyelisihi beliau ataupun keluar dari syariat beliau.
قُلْ يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكُمْ جَمِيعًا الَّذِي لَهُ مُلْكُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ يُحْيِي وَيُمِيتُ فَآمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ النَّبِيِّ الْأُمِّيِّ الَّذِي يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَكَلِمَاتِهِ وَاتَّبِعُوهُ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ(158)
“Katakanlah: “Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua, yaitu Allah yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Yang menghidupkan dan mematikan, maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul Nya, Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya) dan ikutilah dia, supaya kamu mendapat petunjuk”. (Al-A’raf :158)

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ(107)
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (Al-Anbiya’:107)

تَبَارَكَ الَّذِي نَزَّلَ الْفُرْقَانَ عَلَى عَبْدِهِ لِيَكُونَ لِلْعَالَمِينَ نَذِيرًا(1)
“Maha Suci Allah yang telah menurunkan Al-Furqaan (Al Qur’an) kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam” (Al-Furqan:1)
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا كَافَّةً لِلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ(28)
“Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui.” (As-Saba:28)

Dari Jabir bin Abdillah Al-Anshari Radiyallahu ‘anhuma, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Aku diberi oleh Allah lima perkara yang tidak pernah diberikan kepada seorang rasul pun sebelumku: aku ditolong dengan rasa takut yang dialami musuh sejauh perjalanan selama satu bulan, dijadikan bagiku bumi sebagai tempat sujud dan suci, maka siapa saja dari umatku yang mendapati waktu shalat hendaklah dia shalat, dan dihalalkan bagiku ghanimah yang tidak dihalalkan bagi seorang pun sebelumku, diberikan kepadaku syafaat, dan adalah para nabi itu diutus kepada kaumnya saja, sedangkan aku diutus kepada seluruh manusia.” (Bukhari 328, Muslim 521)

إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ وَمَا اخْتَلَفَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ إِلَّا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًا بَيْنَهُمْ وَمَنْ يَكْفُرْ بِآيَاتِ اللَّهِ فَإِنَّ اللَّهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ(19)
“Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya.” (Ali Imran :19)
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الإِسْلاَمِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ ﴿۸٥﴾ [آل عمران: ۸٥]
[85] Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. [QS Aali 'Imroon: 85]

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِينًا
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni`mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. [QS Al Maaidah: 3]

أَفَغَيْرَ دِينِ اللَّهِ يَبْغُونَ وَلَهُ أَسْلَمَ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ طَوْعًا وَكَرْهًا وَإِلَيْهِ يُرْجَعُونَ ﴿۸۳﴾ [آل عمران: ۸۳]
[83] Maka apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, padahal kepada-Nya-lah berserah diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada Allahlah mereka dikembalikan. [QS Aali 'Imroon: 83]

Dan di dalam hadits:”Demi Allah seadainya Musa AS itu hidup niscaya dia mengikutiku.” (dihasankan Al-Albani Al Irwaul Ghalil II/34 no.1589, dan beliau menyebutkan delapan jalan dan Ibnu Katsir juga menyebutkannya dalam tafsir ayat 81-82 dari surat Ali Imran, II/78, edisi revisi dan diha’ifkan Syaikh Muqbil dalam Hdazal Maudhi’.

Kesepuluh, berpaling dari agama Allah Ta’ala. Tidak mau mempelajari dan mengamalkannya: berpaling dari pokok-pokok agama ini, yang menjadikan seseorang itu muslim meskipun dia jahil dalam masalah-masalah agama yang rinci. Karena mengetahui tentang masalah agama yang rinci itu, terkadang tidak bisa dilakukan kecuali oleh ulama dan penuntut ilmu.
(Surat-surat lain yang mendukung masalah ini) :
مَا خَلَقْنَا السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا إِلاَّ بِالْحَقِّ وَأَجَلٍ مُسَمًّى وَالَّذِينَ كَفَرُوا عَمَّا أُنْذِرُوا مُعْرِضُونَ ﴿۳﴾ [الأحقاف: ۳]
Kami tiada menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya melainkan dengan (tujuan) yang benar dan dalam waktu yang ditentukan. Dan orang-orang yang kafir berpaling dari apa yang diperingatkan kepada mereka. (Al Ahqaf : 3)

وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ ذُكِّرَ بِآيَاتِ رَبِّهِ ثُمَّ أَعْرَضَ عَنْهَا إِنَّا مِنَ الْمُجْرِمِينَ مُنْتَقِمُونَ
Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang telah diperingatkan dengan ayat-ayat Tuhannya, kemudian ia berpaling daripadanya? Sesungguhnya Kami akan memberikan pembalasan kepada orang-orang yang berdosa. (Sajadah: 22)

وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى ﴿١٢٤﴾ [طه: ١٢٤] Dan Barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta”. (Thaha:124)
كَذَلِكَ نَقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ أَنْبَاءِ مَا قَدْ سَبَقَ وَقَدْ ءَاتَيْنَاكَ مِنْ لَدُنَّا ذِكْرًا ﴿۹۹﴾ مَنْ أَعْرَضَ عَنْهُ فَإِنَّهُ يَحْمِلُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وِزْرًا ﴿١۰۰﴾ خَالِدِينَ فِيهِ وَسَاءَ لَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حِمْلاً ﴿١۰١﴾ [طه: ۹۹ - ١۰١]
[99] Demikianlah Kami kisahkan kepadamu (Muhammad) sebagian kisah umat yang telah lalu, dan sesungguhnya telah Kami berikan kepadamu dari sisi Kami suatu peringatan (Al Qur’an). [100] Barangsiapa berpaling daripada Al Qur’an maka sesungguhnya ia akan memikul dosa yang besar di hari kiamat, [101] mereka kekal di dalam keadaan itu. Dan amat buruklah dosa itu sebagai beban bagi mereka di hari kiamat. (Thaha:99-101). /**

sumber: salafy.or.id


Read More...

21 Desember 2009

Menyentuh Istri Membatalkan Wudhu??

Oleh : Ust Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawi

Pertanyaan :

Bagaimana hukum bersentuhan dengan isteri setelah berwudhu. Apakah membatalkan wudhu?

Maulana Bandar Lampung

Jawab:

Para ulama fikih berselisih pendapat tentang masalah ini sehingga terpolar menjadi berbagai pendapat yang cukup banyak. (Lihat Al-Majmu’ 2/34 Imam Nawawi). Di sini kami akan sebutkan tiga pendapat saja:

Pendapat Pertama: Menyentuh wanita membatalkan wudhu secara mutlak baik dengan syahwat atau tidak, tetapi kalau ada pembatasnya seperti kain, maka tidak membatalkan wudhu. Pendapat ini populer dalam madzhab Syafi’i. Pendapat berhujjah dengan berbagai argumen, yang paling masyhur dan kuat adalah firman Allah dalam surat An-Nisa’: 43.
أَوْ لاَمَسْتُم النِّسَآءَ

Atau kamu telah berjima’ dengan istri. (QS. An-Nisa’: 43).

Mereka mengartikan kata لاَمَسْتُمُ dalam ayat tersebut dengan menyentuh. (Lihat Al-Umm 1/30 oleh Imam Syafi’i dan Al-Majmu’ 2/35 oleh Imam Nawawi).


Pendapat Kedua: Menyentuh wanita tidak membatalkan wudhu secara mutlak baik dengan syahwat maupun tidak berdasarkan beberapa dalil berikut:
Dalil Pertama:

Asal wudhu seorang adalah suci dan tidak batal sehingga ada dalil yang mengeluarkan dari hukum asalnya, sedangkan hal itu tidak ada, padahal kita ketahui bersama bahwa menyentuh isteri adalah suatu hal yang amat sering terjadi. Seandainya itu membatalkan wudhu, tentu Nabi n akan menjelaskan kepada umatnya dan masyhur di kalangan sahabat, tetapi tidak ada seorangpun dari kalangan sahabat yang berwudhu hanya karena sekedar menyentuh istrinya. (Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah 21/235).
Dalil Kedua:

Dari Aisyah d bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mencium sebagian istrinya kemudian keluar menuju shalat dan tidak berwudhu lagi. Saya (Urwah) berkata: Tidaklah dia kecuali anda kan? Lalu Aisyah tertawa. (Shahih. Riwayat Tirmidzi: 86, Abu Dawud: 178, Nasa’i: 170, Ibnu Majah: 502 dan dishahihkan Al-Albani dalam Al-Misykah: 323. Lihat pembelaan hadits ini secara luas dalam At-Tamhid 8/504 Ibnu Abdil Barr dan Syarh Tirmidzi 1/135-138 Syaikh Ahmad Syakir).

Hadits ini menunjukkan bahwa menyentuh istri tidaklah membatalkan wudhu sekalipun dengan syahwat. Demikian ditegaskan oleh Syaikh Al-Allamah As-Sindi dalam Hasyiyah Sunan Nasa’i 1/104.
Dalil Ketiga:

Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: Saya pernah tidur di depan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kedua kakiku berada di arah kiblatnya. Apabila beliau sujud maka beliau menyentuhku lalu sayapun mengangkat kedua kakiku, dan bila beliau berdiri, maka aku membentangkan kedua kakiku seperti semula. (Aisyah) berkata: “Rumah-rumah saat itu masih belum punya lampu”. (HR. Bukhari: 382 dan Muslim: 512).

Hadits ini menunjukkan bahwa menyentuh istri tidaklah membatalkan wudhu. Adapun takwil Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 1/638 bahwa kejadian di atas bisa jadi karena ada pembatasnya (kain) atau kekhususan bagi Nabi, maka takwil ini sangat jauh sekali dari kebenaran, menyelesihi dhahir hadits dan takalluf (menyusahkan diri). (Periksa Nailul Authar Asy-Syaukani 1/187, Subulus Salam As-Shan’ani 1/136, Tuhfatul Ahwadzi Al-Mubarakfuri 1/239, Syarh Tirmidzi Ahmad Syakir 1/142).
Dalil Keempat:

Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: “Pada suatu malam saya pernah kehilangan Rasulullah n dari tempat tidur maka saya mencarinya lalu tanganku mengenai pada kedua punggung kakinya yang tegak, beliau shalat di masjid seraya berdoa: “Ya Allah saya berlindung dengan ridha-Mu dari kemurkaan-Mu…”. (HR. Muslim: 486).

Hadits ini menunjukkan bahwa istri menyentuh suami tidaklah membatalkan wudhu. Adapun takwil Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim 4/152 bahwa kejadian tersebut bisa jadi karena ada pembatas kainnya, maka menyelisihi dhahir hadits. (Lihat At-Tamhid 8/501 Ibnu Abdil Barr dan Tafsir Al-Qurthubi 5/146).
Dalil Kelima:

Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: “Pernah Rasulullah n melakukan shalat sedangkan saya tidur terbentang di depannya layaknya jenazah sehingga apabila beliau ingin melakukan witir, maka beliau menyentuhku dengan kakinya”.

(HR. Nasai 1/102/167. Imam Za’ilai berkata: “Sanadnya shahih menurut syarat shahih dan dishahihkan Imam Nawawi dalam Al-Majmu’ 2/35).

Hadits ini menunjukkan bahwa menyentuh wanita tidaklah membatalkan wudhu dengan kaki atau anggota badan lainnya. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam At-Talkhis hal. 48: “Sanadnya shahih, hadits ini dijadikan dalil bahwa makna “Laamastum” dalam ayat adalah jima’ (berhubungan) karena Nabi menyentuh Aisyah dalam shalat lalu beliau tetap melanjutkan (tanpa wudhu lagi -pent)”.


Pendapat Ketiga:

Memerinci:
Batal wudhunya apabila menyentuh wanita dengan syahwat, dan
Tidak batal apabila tidak dengan syahwat.

Dalil mereka sama seperti pendapat kedua, tetapi mereka membedakan demikian dengan alasan

“Memang asal menyentuh tidak membatalkan wudhu, tetapi menyentuh dengan syahwat menyebabkan keluarnya air madhi dan mani, maka hukumnya membatalkan”.

(Lihat Al-Mughni 1/260 Ibnu Qudamah).

Pendapat yang rajih (kuat) adalah pendapat kedua yaitu

Menyentuh wanita tidak membatalkan wudhu baik dengan syahwat ataupun tidak, kecuali apabila mengeluarkan air mani dan madhi maka batal wudhunya

Atau minimal adalah pendapat ketiga.

Adapun pendapat pertama, maka sangat lemah sekali karena maksud ayat tersebut adalah jima’ berdasarkan argumen sebagai berikut:
Salah satu makna kata لَمَسَ dalam bahasa Arab adalah jima’ (Al-Qamus Al-Mukhith Al-Fairuz Abadi 2/259).
Para pakar ahli tafsir telah menafsirkan ayat tersebut dengan jima’ diantaranya adalah sahabat mulia, penafsir ulung yang dido’akan Nabi, Abdullah bin Abbas, demikian pula Ali bin Abi Thalib, Ubai bin Ka’ab, Mujahid, Thawus, Hasan Al-Bashri, Ubaid bin Umair, Said bin Jubair, Sya’bi, Qotadah, Muqatil bi Hayyan dan lainnya. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir 1/550). Pendapat ini juga dikuatkan Syaikh ahli tafsir, Ibnu Jarir dalam Tafsirnya 5/102-103 dan Imam Ibnu Rusyd dalam Bidayatul Mujtahid
Mengkompromikan antara ayat tersebut dengan hadits-hadits shahih di atas yang menegaskan bahwa Rasulullah n menyentuh bahkan mencium istrinya (Aisyah) dan beliau tidak berwudhu lagi.
Imam Ibnu Abdil Barr dalam At-Tamhid 8/506 dan Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam At-Talkhis menukil dari Imam Syafi’i bahwa beliau berkata: “Seandainya hadits Aisyah tentang mencium itu shahih, maka madzhab kita adalah hadits Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam”. Perkataan serupa juga dikatakan oleh Imam Al-Baihaqi, pejuang madzbab Syafi’i. Hal ini menunjukkan bahwa kedua imam tersebut tidak menetapkan bahwa maksud لاَمَسْتُم dalam ayat tersebut bermakna “Menyentuh” karena keduanya menegaskan seandanya hadits Aisyah shahih, maka beliau berdua berpendapat mengikuti hadits. Seandainya kedua imam tersebut berpendapat seperti hadits, maka mau gak mau harus menafsirkan ayat tersebut bermakna “jima” sebagaimana penafsiran yang shahih. (Syarh Tirmidzi 1/141 oleh Syaikh Ahmad Syakir).

Demikianlah jawaban yang kami yakini berdasarkan dalil-dalil yang shahih, bukan fanatik madzhab dan mengikuti apa kata banyak orang. Semoga Allah menambahkan ilmu dan memberikan keteguhan kepada kita. Wallahu A’lam.

Sumber : www.abiubaidah.com

Diupload kembali oleh :

www.wahonot.wordpress.com


Read More...

Mengucapkan Selamat Natal Dianggap Berbuat Baik

Sebagian orang beralasan bolehnya mengucapkan selamat natal pada orang nashrani karena dianggap sebagai bentuk ihsan (berbuat baik). Dalil yang mereka bawakan adalah firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al Mumtahanah: 8). Inilah di antara alasan untuk melegalkan mengucapkan selamat natal pada orang nashrani. Mereka memang membawakan dalil, namun apakah pemahaman yang mereka utarakan itu membenarkan mengucapkan selamat natal? Temukan jawabannya pada pembahasan berikut.

Sebab Turun dan Makna Ayat

Untuk siapa sebab diturunkannya ayat di atas? Di sini ada beberapa pendapat di kalangan ahli tafsir. Di antara pendapat tersebut adalah yang menyatakan bahwa ayat ini turun pada Asma’ binti Abi Bakr –radhiyallahu ‘anhuma-, di mana ibundanya –Qotilah binti ‘Abdil ‘Uzza- yang musyrik dan ia diperintahkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk tetap menjalin hubungan dengan ibunya.[1]

Ibnu Katsir -rahimahullah- menjelaskan makna ayat tersebut, “Allah tidak melarang kalian berbuat ihsan (baik) terhadap orang kafir yang tidak memerangi kaum muslimin dalam agama dan juga tidak menolong mengeluarkan wanita dan orang-orang lemah, yaitu Allah tidak larang untuk berbuat baik dan berbuat adil kepada mereka. Karena sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat adil.”[2]

Loyal (Wala’) pada Orang Kafir itu Terlarang

Wala’ (loyal) tidaklah sama dengan berlaku ihsan (baik). Wala’ secara istilah bermakna menolong, memuliakan dan loyal dengan orang yang dicintai.[3] Sehingga wala’ (loyal) pada orang kafir akan menimbulkan rasa cinta dan kasih sayang dengan mereka dan agama yang mereka anut. Di antara larangan loyal (wala’) pada orang kafir dapat kita lihat pada firman Allah (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (QS. Al Maidah: 51). Bahkan Ibnu Hazm telah menukil adanya ijma’ (kesepakatan ulama) bahwa loyal (wala’) pada orang kafir adalah sesuatu yang diharamkan.[4]

Perlu Dibedakan antara Ihsan (Berbuat Baik) dan Wala’ (Loyal)

Perlu kiranya dipahami bahwa birr atau ihsan (berbuat baik) itu jauh berbeda dengan wala’ (bersikap loyal). Ihsan adalah sesuatu yang dituntunkan. Ihsan itu diperbolehkan baik pada muslim maupun orang kafir. Fakhruddin Ar Rozi -rahimahullah- mengatakan, “Allah tidak melarang kalian berbuat baik (birr) kepada mereka (orang kafir). Namun yang Allah larang bagi kalian adalah loyal (wala’) pada mereka. Inilah bentuk rahmat pada mereka, padahal ada permusuhan sengit dengan kaum muslimin. Para pakar tafsir menjelaskan bahwa boleh kaum muslimin berbuat baik (birr) dengan orang musyrik. Namun dalam hal loyal (wala’) pada mereka itu tidak dibolehkan.”[5]

Syaikh Musthofa Al ‘Adawi menjelaskan dalam kitab tafsirnya, “Berbuat baik dan berlaku adil tidaklah melazimkan rasa cinta dan kasih sayang pada orang kafir. Seperti contohnya adalah seorang anak tetap berbakti dan berbuat baik dengan orang tuanya yang kafir, namun ia tetap membenci agama yang orang tuanya anut. ”[6]

Contoh Berbuat Ihsan pada Non Muslim

Pertama: Memberi hadiah kepada saudara non muslim agar membuat ia tertarik pada Islam. Seperti ‘Umar pernah memberi hadiah pakaian kepada saudaranya[7] di Makkah sebelum saudaranya tersebut masuk Islam.[8]

Kedua: Menjalin hubungan dan berbuat baik dengan orang tua dan kerabat non muslim.

Dari Asma’ binti Abu Bakr –radhiyallahu ‘anhuma-, ia berkata, “Ibuku mendatangiku, padahal ia seorang musyrik di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian aku ingin meminta nasehat dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku berkata, “Sesungguhnya ibuku mendatangiku, padahal ia sangat benci Islam. Apakah aku boleh tetap menyambung hubungan kerabat dengan ibuku?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Iya boleh. Silakan engkau tetap menjalin hubungan dengannya.”[9]

Allah melarang memutuskan silaturahmi dengan orang tua atau kerabat yang non muslim dan Allah tetap menuntunkan agar hak mereka sebagai kerabat dipenuhi walaupun mereka kafir. Jadi, kekafiran tidaklah memutuskan hak mereka sebagai kerabat. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik.” (QS. Luqman: 15). Jubair bin Muth’im berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak akan masuk surga orang yang memutuskan tali silaturahmi (dengan kerabat).”[10]

Ketiga: Berbuat baik kepada tetangga walaupun non muslim.

Mujahid berkata, “Saya pernah berada di sisi Abdullah ibnu ‘Amru sedangkan pembantunya sedang memotong kambing. Dia lalu berkata, ”Wahai pembantu! Jika anda telah selesai (menyembelihnya), maka bagilah dengan memulai dari tetangga Yahudi kita terlebih dahulu.” Lalu ada salah seorang yang berkata, “(Anda memberikan sesuatu) kepada Yahudi? Semoga Allah memperbaiki kondisi anda.” Abdullah bin ’Amru lalu berkata, ‘Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berwasiat terhadap tetangga sampai kami khawatir kalau beliau akan menetapkan hak waris kepadanya.”[11]

Perkara yang Termasuk Loyal pada Orang Kafir dan Dinilai Haram[12]

Pertama: Mencintai orang kafir dan menjadikan mereka teman dekat[13]. Dikecualikan di sini adalah cinta yang bersifat tabi’at seperti kecintaan seorang anak kepada orang tuanya yang musyrik. Cinta seperti ini dibolehkan selama tidak sampai mencintai agama yang orang tuanya anut.

Kedua: Menetap di negeri kafir[14]. Ada dua rincian yang mesti diperhatikan:
Jika orang kafir yang baru masuk Islam, lalu tinggal di negeri kafir dan tidak mampu menampakkan keislaman (seperti mentauhidkan Allah, melaksanakan shalat, dan berjilbab –bagi wanita-) dan ia mampu berhijrah, maka saat itu ia wajib berhijrah ke negeri kaum muslimin. Hal ini berdasarkan kesepakatan para ulama. Dan tidak boleh muslim tersebut menetap di negeri kafir kecuali dalam keadaan darurat.
Jika muslim yang tinggal di negeri kafir masih mampu menampakkan keislamannya, maka berhijrah ke negeri kaum muslimin pada saat ini menjadi mustahab (dianjurkan). Begitu pula dianjurkan ia menetap di negeri kafir tersebut karena ada maslahat untuk mendakwahi orang lain kepada Islam yang benar.

Ketiga: Diharamkan bepergian ke negeri kafir tanpa ada hajat. Namun jika ada maslahat (seperti untuk berobat, berdakwah, dan berdagang), maka ini dibolehkan asalkan memenuhi tiga syarat berikut: (1) memiliki bekal ilmu agama yang kuat sehingga dapat menjaga dirinya, (2) merasa dirinya aman dari hal-hal yang dapat merusak agama dan akhlaqnya, dan (3) mampu menampakkan syi’ar-syi’ar Islam.

Keempat: Menyerupai orang kafir (tasyabbuh) dalam hal pakaian, penampilan dan kebiasaan. Tasyabbuh di sini diharamkan berdasarkan dalil Al Qur’an, As Sunnah dan kesepakatan para ulama (ijma’).[15] Di antara dalilnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka”[16] Oleh karena itu, perilaku tasyabbuh (menyerupai orang kafir) dalam perkara yang menjadi ciri khas mereka adalah diharamkan. Contohnya adalah mencukur jenggot dan mengikuti model pakaian yang menjadi ciri khas mereka.

Kelima: Bekerjasama atau membantu merayakan perayaan orang kafir, seperti membantu dalam acara natal. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (QS. Al Maidah: 2)

Begitu pula diharamkan menghadiri perayaan agama mereka karena Allah Ta’ala menceritakan mengenai sifat orang beriman (yang artinya), “Dan orang-orang yang beriman adalah yang tidak menyaksikan perbuatan zur …” (QS. Al Furqon: 72). Di antara makna “tidak menyaksikan perbuatan zur” adalah tidak menghadiri perayaan orang musyrik.[17] Jadi, ayat di atas adalah pujian untuk orang yang tidak menghadiri perayaan orang musyrik. Jika tidak menghadiri perayaan tersebut adalah suatu hal yang terpuji, berarti melakukan perayaan tersebut adalah perbuatan yang sangat tercela dan termasuk ‘aib[18]. Begitu pula diharamkan mengucapkan selamat dalam hari perayaan yang mereka rayakan. Bahkan hal ini diharamkan berdasarkan ijma’ atau kesepatan para ulama.

Ulama Sepakat: Haram Mengucapkan Selamat Natal

Perkataan Ibnul Qayyim dalam Ahkam Ahli Dzimmah:

”Adapun memberi ucapan selamat pada syi’ar-syi’ar kekufuran yang khusus bagi orang-orang kafir (seperti mengucapkan selamat natal, pen) adalah sesuatu yang diharamkan berdasarkan ijma’ (kesepakatan) para ulama. Contohnya adalah memberi ucapan selamat pada hari raya dan puasa mereka seperti mengatakan, ‘Semoga hari ini adalah hari yang berkah bagimu’, atau dengan ucapan selamat pada hari besar mereka dan semacamnya.” Kalau memang orang yang mengucapkan hal ini bisa selamat dari kekafiran, namun dia tidak akan lolos dari perkara yang diharamkan. Ucapan selamat hari raya seperti ini pada mereka sama saja dengan kita mengucapkan selamat atas sujud yang mereka lakukan pada salib, bahkan perbuatan seperti ini lebih besar dosanya di sisi Allah. Ucapan selamat semacam ini lebih dibenci oleh Allah dibanding seseorang memberi ucapan selamat pada orang yang minum minuman keras, membunuh jiwa, berzina, atau ucapan selamat pada maksiat lainnya.

Banyak orang yang kurang paham agama terjatuh dalam hal tersebut. Orang-orang semacam ini tidak mengetahui kejelekan dari amalan yang mereka perbuat. Oleh karena itu, barangsiapa memberi ucapan selamat pada seseorang yang berbuat maksiat, bid’ah atau kekufuran, maka dia pantas mendapatkan kebencian dan murka Allah Ta’ala.”[19]

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ’Utsaimin mengatakan, ”Ucapan selamat hari natal atau ucapan selamat lainnya yang berkaitan dengan agama kepada orang kafir adalah haram berdasarkan kesepakatan para ulama.”[20]

Herannya ulama-ulama kontemporer saat ini[21] malah membolehkan mengucapkan selamat Natal. Alasan mereka berdasar pada surat Al Mumtahanah ayat 8. Sungguh, pendapat ini adalah pendapat yang ’nyleneh’ dan telah menyelisihi kesepakatan para ulama. Pendapat ini tidak bisa membedakan antara berbuat ihsan dan wala’ (loyal). Padahal para ulama katakan bahwa kedua hal tersebut adalah berbeda sebagaimana kami telah utarakan. Sungguh celaka jika kesepakatan para ulama itu diselisihi. Padahal Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu’min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.”(QS. An Nisa’: 115). Jalan orang-orang mukmin inilah ijma’ (kesepakatan) mereka.

Hujjah terakhir yang kami sampaikan, adakah ulama salaf di masa silam yang menganggap bahwa ucapan selamat natal termasuk bentuk berbuat baik dan dibolehkan, padahal acara natal sudah ada sejak masa silam?!

Inti dari pembahasan ini adalah tidak selamanya berbuat baik pada orang kafir berarti harus loyal dengan mereka, bahkan tidak mesti sampai mengorbankan agama. Kita bisa berbuat baik dengan hal-hal yang dibolehkan bahkan dianjurkan atau diwajibkan sebagaimana yang telah kami sebutkan di atas. Semoga Allah selalu menunjuki kita pada jalan yang lurus. Hanya Allah yang beri taufik. [Muhammad Abduh Tuasikal]

_____________

[1] Lihat Zaadul Masiir, Ibnul Jauziy, 8/236-237, Al Maktab Al Islami Beirut, cetakan ketiga, tahun 1404 H.
[2] Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, Muhaqqiq: Sami bin Muhammad Salamah, 8/90, terbitan Dar At Thoyibah, cetakan kedua, 1420 H.
[3] Lihat Al Wala’ wal Baro’, Syaikh Sa’id bin Wahf Al Qahthani, hal. 307, Asy Syamilah.
[4] Lihat Al Muhalla, Ibnu Hazm, 11/138, Mawqi’ Ya’sub.
[5] Mafatihul Ghoib, Fakhruddin Ar Rozi, 15/325, Mawqi’ At Tafasir.
[6] Tafsir Juz Qod Sami’a , Syaikh Musthofa Al ‘Adawi, hal. 166, Maktabah Makkah, cetakan pertama, tahun 2003.
[7] Saudara ‘Umar ini bernama ‘Utsman bin Hakim, dia adalah saudara seibu dengan ‘Umar. Ibu ‘Umar bernama Khoitsamah binti Hisyam bin Al Mughiroh. Lihat Fathul Bari, 5/233.
[8] HR. Bukhari no. 2619.
[9] HR. Bukhari no. 2620.
[10] HR. Muslim no. 2556.
[11] Adabul Mufrod no. 95/128. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa riwayat ini shahih. Lihat Al Irwa’ (891): [Abu Dawud: 40-Kitab Al Adab, 123-Fii Haqqil Jiwar. At Tirmidzi: 25-Kitab Al Birr wash Shilah, 28-Bab Maa Jaa-a fii Haqqil Jiwaar]
[12] Kami olah dari Tahdzib Tashil Al ‘Aqidah Al Islamiyah, Prof. ‘Abdullah bin ‘Abdul ‘Aziz Al Jibrin, hal. 224-229, Maktabah Al Mulk Fahd Al Wathoniyah, cetakan pertama, 1425 H.
[13] Lihat Surat Al Mujadilah: 22.
[14] Lihat Surat An Nisa’: 97-98
[15] Sebagaimana dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Iqtidho’ Shirotil Mustaqim.
[16] HR. Ahmad dan Abu Daud. Syaikhul Islam dalam Iqtidho’ [hal. 1/269] mengatakan bahwa sanad hadits ini jayid/bagus. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih sebagaimana dalam Irwa’ul Gholil no. 1269
[17] Lihat Zaadul Masiir, Ibnul Jauzi, 4/484, Mawqi’ Al Islam.
[18] Lihat Iqtidho’ Ash Shiroth Al Mustaqim, 1/483.
[19] Ahkam Ahli Dzimmah, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, 1/441, Dar Ibnu Hazm, cetakan pertama, tahun 1418 H.
[20] Majmu’ Fatawa wa Rosail Ibnu ‘Utsaimin, 3/28-29, no. 404, Asy Syamilah.
[21] Semacam Yusuf Qardhawi, begitu pula Lembaga Riset dan Fatwa Eropa.


Sumber: Buletin At-Tauhid

Read More...

20 Desember 2009

Keutamaan Puasa di Hari Asyura (10 Muharram)

Oleh: Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin

[Di dalam kitab beliau Riyadhus Shalihin, Al-Imam An-Nawawi -rahimahullah- membawakan tiga buah hadits yang berkenaan dengan puasa sunnah pada bulan Muharram, yaitu puasa hari Asyura / Asyuro (10 Muharram) dan Tasu’a (9 Muharram)]

Hadits yang Pertama

عن ابن عباس رَضِيَ اللَّهُ عَنهُ أن رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّم صام يوم عاشوراء وأمر بصيامه. مُتَّفّقٌ عَلَيهِ

Dari Ibnu Abbas -radhiyallahu ‘anhuma-, “Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berpuasa pada hari ‘Asyura dan memerintahkan untuk berpuasa padanya”. (Muttafaqun ‘Alaihi).

Hadits yang Kedua

عن أبي قتادة رَضِيَ اللَّهُ عَنهُ أن رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّم سئل عن صيام يوم عاشوراء فقال: ((يكفر السنة الماضية)) رَوَاهُ مُسلِمٌ.

Dari Abu Qatadah -radhiyallahu ‘anhu-, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya tentang puasa hari ‘Asyura. Beliau menjawab, “(Puasa tersebut) Menghapuskan dosa satu tahun yang lalu”. (HR. Muslim)

Hadits yang Ketiga

وعن ابن عباس رَضِيَ اللَّهُ عَنهُما قال، قال رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّم: ((لئن بقيت إلى قابل لأصومن التاسع)) رَوَاهُ مُسلِمٌ.

Dari Ibnu Abbas -radhiyallahu ‘anhuma- beliau berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Apabila (usia)ku sampai tahun depan, maka aku akan berpuasa pada (hari) kesembilan” (HR. Muslim)

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya tentang puasa pada hari ‘Asyura, beliau menjawab, ‘Menghapuskan dosa setahun yang lalu’, ini pahalanya lebih sedikit daripada puasa Arafah (yakni menghapuskan dosa setahun sebelum serta sesudahnya –pent). Bersamaan dengan hal tersebut, selayaknya seorang berpuasa ‘Asyura (10 Muharram) disertai dengan (sebelumnya, ed.) Tasu’a (9 Muharram). Hal ini karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Apabila (usia)ku sampai tahun depan, maka aku akan berpuasa pada yang kesembilan’, maksudnya berpuasa pula pada hari Tasu’a.

Penjelasan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk berpuasa pada hari sebelum maupun setelah ‘Asyura [1] dalam rangka menyelisihi orang-orang Yahudi karena hari ‘Asyura –yaitu 10 Muharram- adalah hari di mana Allah selamatkan Musa dan kaumnya, dan menenggelamkan Fir’aun dan para pengikutnya. Dahulu orang-orang Yahudi berpuasa pada hari tersebut sebagai syukur mereka kepada Allah atas nikmat yang agung tersebut. Allah telah memenangkan tentara-tentaranya dan mengalahkan tentara-tentara syaithan, menyelamatkan Musa dan kaumnya serta membinasakan Fir’aun dan para pengikutnya. Ini merupakan nikmat yang besar.

Oleh karena itu, setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tinggal di Madinah, beliau melihat bahwa orang-orang Yahudi berpuasa pada hari ‘Asyura [2]. Beliau pun bertanya kepada mereka tentang hal tersebut. Maka orang-orang Yahudi tersebut menjawab, “Hari ini adalah hari di mana Allah telah menyelamatkan Musa dan kaumnya, serta celakanya Fir’aun serta pengikutnya. Maka dari itu kami berpuasa sebagai rasa syukur kepada Allah”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, “Kami lebih berhak terhadap Musa daripada kalian”.

Kenapa Rasulullah mengucapkan hal tersebut? Karena Nabi dan orang–orang yang bersama beliau adalah orang-orang yang lebih berhak terhadap para nabi yang terdahulu. Allah berfirman,

إِنَّ أَوْلَى النَّاسِ بِإِبْرَاهِيمَ لَلَّذِينَ اتَّبَعُوهُ وَهَذَا النَّبِيُّ وَالَّذِينَ آَمَنُوا وَاللَّهُ وَلِيُّ الْمُؤْمِنِينَ

“Sesungguhnya orang yang paling berhak dengan Ibrahim adalah orang-orang yang mengikutinya dan nabi ini (Muhammad), serta orang-orang yang beriman, dan Allah-lah pelindung semua orang-orang yang beriman”. (Ali Imran: 68)

Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah orang yang paling berhak terhadap Nabi Musa daripada orang-orang Yahudi tersebut, dikarenakan mereka kafir terhadap Nabi Musa, Nabi Isa dan Muhammad. Maka beliau shallallahu ‘alaihi wasallam berpuasa ‘Asyura dan memerintahkan manusia untuk berpuasa pula pada hari tersebut. Beliau juga memerintahkan untuk menyelisihi Yahudi yang hanya berpuasa pada hari ‘Asyura, dengan berpuasa pada hari kesembilan atau hari kesebelas beriringan dengan puasa pada hari kesepuluh (’Asyura), atau ketiga-tiganya. [3]

Oleh karena itu sebagian ulama seperti Ibnul Qayyim dan yang selain beliau menyebutkan bahwa puasa ‘Asyura terbagi menjadi tiga keadaan:

1. Berpuasa pada hari ‘Asyura dan Tasu’ah (9 Muharram), ini yang paling afdhal.

2. Berpuasa pada hari ‘Asyura dan tanggal 11 Muharram, ini kurang pahalanya daripada yang pertama. [4]

3. Berpuasa pada hari ‘Asyura saja, sebagian ulama memakruhkannya karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk menyelisihi Yahudi, namun sebagian ulama yang lain memberi keringanan (tidak menganggapnya makhruh). [5]

Wallahu a’lam bish shawab.

(Sumber: Syarh Riyadhis Shalihin karya Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin terbitan Darus Salam – Mesir, diterjemahkan Abu Umar Urwah Al-Bankawy, muraja’ah dan catatan kaki: Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Rifai)

CATATAN KAKI:

[1] Adapun hadits yang menyebutkan perintah untuk berpuasa setelahnya (11 Asyura’) adalah dha’if (lemah). Hadits tersebut berbunyi:

صوموا يوم عاشوراء و خالفوا فيه اليهود صوموا قبله يوما و بعده يوما . -

“Puasalah kalian hari ‘Asyura dan selisihilah orang-orang yahudi padanya (maka) puasalah sehari sebelumnya dan sehari setelahnya. (HR. Ahmad dan Al Baihaqy. Didhaifkan oleh As Syaikh Al-Albany di Dha’iful Jami’ hadits no. 3506)

Dan berkata As Syaikh Al Albany – Rahimahullah- di Silsilah Ad Dha’ifah Wal Maudhu’ah IX/288 No. Hadits 4297: Penyebutan sehari setelahnya (hari ke sebelas. pent) adalah mungkar, menyelisihi hadits Ibnu Abbas yang shahih dengan lafadz:

“لئن بقيت إلى قابل لأصومن التاسع” .

“Jika aku hidup sampai tahun depan tentu aku akan puasa hari kesembilan”

Lihat juga kitab Zaadul Ma’ad 2/66 cet. Muassasah Ar-Risalah Th. 1423 H. dengan tahqiq Syu’aib Al Arnauth dan Abdul Qadir Al Arna’uth.

لئن بقيت لآمرن بصيام يوم قبله أو يوم بعده . يوم عاشوراء) .-

“Kalau aku masih hidup niscaya aku perintahkan puasa sehari sebelumnya (hari Asyura) atau sehari sesudahnya” ((HR. Al Baihaqy, Berkata Al Albany di As-Silsilah Ad-Dha’ifah Wal Maudhu’ah IX/288 No. Hadits 4297: Ini adalah hadits mungkar dengan lafadz lengkap tersebut.))

[2] Padanya terdapat dalil yang menunjukkan bahwa penetapan waktu pada umat terdahulu pun menggunakan bulan-bulan qamariyyah (Muharram s/d Dzulhijjah, Pent.) bukan dengan bulan-bulan ala Eropa (Jan s/d Des). Karena Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mengabarkan bahwa hari ke sepuluh dari Muharram adalah hari di mana Allah membinasakan Fir’aun dan pengikutnya dan menyelamatkan Musa dan pengikutnya. (Syarhul Mumthi’ VI.)

[3] Untuk puasa di hari kesebelas haditsnya adalah dha’if (lihat no. 1) maka – Wallaahu a’lam – cukup puasa hari ke 9 bersama hari ke 10 (ini yang afdhal) atau ke 10 saja.

Asy-Syaikh Salim Bin Ied Al Hilaly mengatakan bahwa, “Sebagian ahlu ilmu berpendapat bahwa menyelisihi orang Yahudi terjadi dengan puasa sebelumnya atau sesudahnya. Mereka berdalil dengan hadits yang diriwayatkan dari Rasulullah Shalallahu’alaihi Wasallam,

صوموا يوم عاشوراء و خالفوا فيه اليهود صوموا قبله يوما أو بعده يوما .

“Puasalah kalian hari ‘Asyura dan selisihilah orang-orang Yahudi padanya (maka) puasalah sehari sebelumnya atau sehari setelahnya”.

Ini adalah pendapat yang lemah, karena bersandar dengan hadits yang lemah tersebut yang pada sanadnya terdapat Ibnu Abi Laila dan ia adalah jelek hafalannya.” (Bahjatun Nadhirin Syarah Riyadhus Shalihin II/385. cet. IV. Th. 1423 H Dar Ibnu Jauzi)

[4] (lihat no. 3)

[5] Asy-Syaikh Muhammad Bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah mengatakan,

والراجح أنه لا يكره إفراد عاشوراء.

Dan yang rajih adalah bahwa tidak dimakruhkan berpuasa ‘Asyura saja. (Syarhul Mumthi’ VI)

Wallaahu a’lam.


ulamasunnah.wordpress.com


Read More...

MANTAN PENDETA ROMA MENJADI AHLUS SUNNAH

Oleh : Syaikh Amjad bin Imron Salhub

Segala puji bagi Allah. Semoga shalawat serta salam tetap terlimpahkan atas Rasulullah, keluarga dan para sahabatnya, serta siapa saja yang mengikuti sunnahnya dan menjadikan ajarannya sebagai petunjuk sampai hari kiamat.

Sejarah Islam, baik yang dulu maupun sekarang senantiasa menceritakan kepada kita, contoh-contoh indah dari orang-orang yang mendapatkan petunjuk, mereka memiliki semangat yang begitu tinggi dalam mencari agama yang benar. Untuk itulah, mereka mencurahkan segenap jiwa dan mengorbankan milik mereka yang berharga, sehingga mereka dijadikan permisalan, dan sebagai bukti bagi Allah atas makhluk-Nya.


Sesungguhnya siapa saja yang bersegera mencari kebenaran, berlandaskan keikhlasan karena Allah Ta’aala, pasti Dia ‘Azza Wa Jalla akan menunjukinya kepada kebenaran tersebut, dan akan dianugerahkan kepadanya nikmat terbesar di alam nyata ini, yaitu kenikmatan Islam. Semoga Allah merahmati syaikh kami al-Albani yang sering mengulang-ngulangi perkataan:

الْحَمْدُ لِلَّهِ عَلَى نِعْمَةِ اْلإِسْلاَمِ وَالسُنَّةِ

Segala puji bagi Allah atas nikmat Islam dan as-Sunnah

Diantara kalimat mutiara ulama salaf adalah:

إِنَّ مِنْ نِعْمَةِ اللهِ عَلَى اْلأَعْجَمِيِّ وَ الشَابِ إِذَا نَسَكَ أَنْ يُوَافِيَ صَاحِبَ سُنَّةٍ فَيَحْمِلَهُ عَلَيْهَا

Sesungguhnya diantara nikmat Allah atas orang ‘ajam dan pemuda adalah, ketika dia beribadah bertemu dengan pengibar sunnah, kemudian dia membimbingnya kepada sunnah Rasulullah.


أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ

Saya bersaksi bahwa tiada sesembahan yang berhak disembah dengan benar kecuali Allah, dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan-Nya

Inilah kalimat tauhid, kalimat yang baik, kunci surga. Kalimat inilah stasiun pertama dari jalan panjang yang penuh dengan onak dan duri, kalimat taqwa bukanlah kalimat yang mudah bagi seorang insan yang ingin menggerakkan lisannya untuk mengucapkannya, demikian juga ketika dia ingin mengeluarkannya dari hatinya yang paling dalam. Karena, ketika seorang insan ingin mengeluarkannya dari hatinya yang paling dalam, maka dia harus mengetahui terlebih dahulu, bahwa kalimat itu keluar dengan seizin Allah Ta’aala.

Demikianlah yang dialami oleh Ibrahim (dulu bernama Danial) -semoga Allah memeliharanya, meluruskannya diatas jalan keistiqomahan, serta menutup lembaran hidupnya diatas Islam-.

Inilah dia yang akan menceritakan kepada kita, bagaimana dia meninggalkan agama kaumnya (Nashrani) menuju Islam, dan bagaimana dia telah mengorbankan kekayaan ayahnya serta kemewahan hidupnya, di suatu jalan (hakekat terbesar), demi mencari kebebasan akal dan jiwa.

Ibrahim (dulu bernama Danial) -semoga Allah memeliharanya, dan mengokohkannya diatas jalan keistiqomahan- menceritakan:

Saya adalah seorang lelaki dari keluarga Roma, seorang anak dari keluarga kaya, semasa kecil, saya hidup dengan kemewahan dan kemakmuran. Demikianlah, kulalui masa kecilku. Ketika masa remajapun, saya banyak menghabiskan waktu dengan kemewahan bersama teman-temanku, ketika itu saya memiliki sebuah mobil mewah dan uang, sehingga saya bisa memiliki segala sesuatu dan tidak pernah kekurangan.

Akan tetapi sejak kecil, saya senantiasa merasa bahwa dalam kehidupan ini ada yang kurang, dan saya yakin bahwa ada sesuatu yang salah di dalam hidupku, serta suatu kekosongan yang harus kupenuhi, karena semua sarana kehidupan ini bukanlah tujuanku. Saya mulai tertarik dengan agama, dan mulailah kubaca Injil, pergi ke gereja, serta kusibukkan diriku dengan membaca buku-buku agama Kristen. Dari buku-buku yang kubaca tersebut, mulai kudapatkan sebagian jawaban atas berbagai pertanyaanku, akan tetapi tetap saja belum sempurna.

Dahulu saya bangun pagi setiap hari dan pergi ke pantai, saya merenungi laut sambil membaca buku-buku dan shalat. Setelah dua bulan dari permulaan hidupku ini, saya merasa mantap bahwa saya tidak mampu terus menerus menjalani hidupku seperti biasanya setelah beragama, ketika itu, saya mendatangi ayahku dan kukabarkan kepadanya bahwa saya tidak bisa melanjutkan bekerja dengannya, saya juga pergi mendatangi ibu dan saudari-saudariku dan kukabarkan kepada mereka bahwa saya telah mengambil keputusan untuk meninggalkan mereka.

Kemudian kusiapkan tasku lalu naik kereta tanpa kuketahui ke mana saya hendak pergi, hingga saya tiba di kota Polon, kemudian saya masuk ke ad-dir (Istilah untuk gereja yang terpencil dipedalaman. – pent.) disana, lalu naik gunung yang tinggi. Saya menetap di gunung selama kira-kira sebulan, saya tidak berbicara dengan siapapun, saya hanya membaca dan beribadah.

Sekitar tiga tahun, saya senantiasa berpindah-pindah dari satu ad-dir ke ad-dir yang lain, saya membaca dan beribadah, kebalikannya para pendeta yang tidak bisa meninggalkan ad-dir mereka, karena saya tidak pernah memberikan janji untuk menjadi seorang pendeta di suatu ad-dir tertentu, dan janji tersebut akan menghalangiku untuk keluar masuk darinya.

Setelah itu, saya memutuskan untuk berkeliling ke pelbagai negeri, maka saya memulai perjalanan panjangku dari Italia melalui Slovania, Hungaria, Nimsa, Romania, Bulgaria, Turki, Iran, Pakistan, dari sana menuju India. Semua perjalanan ini saya tempuh melalui jalur darat. Saya mendengar suara adzan di Turki, dan saya sudah pernah mendengarnya di Kairo (Mesir) pada perjalananku sebelumnya, akan tetapi kali ini sangat berkesan, sehingga saya mencintainya.

Dalam perjalanan pulang, saya bertemu dengan seorang muslim Syi’ah di perbatasan Iran dan Pakistan, dia dan temannya menjamuku dan mulai menjelaskan kepadaku tentang Islam versi Syi’ah, keduanya menyebutkan Imam Duabelas dan mereka tidak menjelaskan kepadaku tentang Islam dengan sebenarnya, bahkan mereka menfokuskan pada ajaran Syi’ah dan Imam Ali z, serta tentang penantian mereka terhadap seorang Imam yang ikhlas, yang akan datang untuk membebaskan manusia.

Semua diskusi tesebut sama sekali tidak menarik perhatianku, dan saya belum mendapatkan jawaban atas berbagai pertanyaanku dalam rangka mencari hakekat kebenaran. Orang Syi’ah itu menawarkan kepadaku untuk mempelajari Islam di kota Qum, Iran, selama tiga bulan tanpa dipungut biaya, akan tetapi saya memilih untuk melanjutkan perjalananku dan kutinggalkan mereka.

Kemudian saya menuju India, dan ketika saya turun dari kereta, pertama yang kulihat adalah manusia yang membawa kendi-kendi di pagi hari sekali dengan berlari-lari kecil menuju ke dalam kota, maka kuikuti mereka dan saya melihat mereka berthowaf mengelilingi sapi betina yang terbuat dari emas, ketika itu saya sadar bahwa India bukanlah tempat yang kucari.

Setelah itu, saya kembali ke Italia dan dirawat di rumah sakit selama sebulan penuh, hampir saja saya meninggal dikarenakan penyakit yang saya derita ketika di India, akan tetapi Allah telah menyelamatkanku. Alhamdulillah.

Saya keluar dari rumah sakit menuju rumah, dan mulailah saya berfikir tentang langkah-langkah yang akan saya ambil setelah perjalanan panjang ini, maka saya memutuskan untuk terus dalam jalanku mencari hakekat kebenaran. Saya kembali ke ad-dir dan mulailah kujalani kehidupan seorang pendeta di sebuah ad-dir di Roma. Pada waktu itu saya telah diminta oleh para pembesar pendeta disana untuk memberikan kalimat dan janji. Pada malam itu, saya berfikir panjang, dan keesokan harinya saya memutuskan untuk tidak memberikan janji kepada mereka lalu kutinggalkan ad-dir tersebut.

Saya merasa ada sesuatu yang mendorongku untuk keluar dari ad-dir, setelah itu saya menuju al-Quds karena saya beriman akan kesuciannya. Maka mulailah saya berpergian menuju al-Quds melalui jalur darat melewati berbagai negeri, sampai akhirnya saya tiba di Siria, Lebanon, Oman, dan al-Quds, saya tinggal disana seminggu, kemudian saya kembali ke Italia, maka bertambahlah pertanyaan-pertanyaanku, saya kembali ke rumah lalu kubuka Injil.

Pada kesempatan ini, saya merasa berkewajiban untuk membaca Injil dari permulaannya, maka saya memulai dari Taurat, menelusuri kisah-kisah para nabi bani Israel. Pada tahap ini mulai nampak jelas di dalam diriku makna-makna kerasulan hakiki yang Allah mengutus kepadanya, mulailah saya merasakannya, sehingga muncullah berbagai pertanyaan yang belum saya dapatkan jawabannya, saya berusaha menemukan jawaban atas berbagai pertanyaan tersebut dari perpustakaanku yang penuh dengan buku-buku tentang Injil dan Taurat.

Pada saat itu, saya teringat suara adzan yang pernah kudengar ketika berkeliling ke berbagai negeri serta pengetahuanku bahwa kaum muslimin beriman terhadap Tuhan yang satu, tiada sesembahan yang berhak disembah selain Dia. Dan inilah yang dulu saya yakini, maka saya berkomitmen : Saya harus berkenalan dengan Islam, kemudian mulailah kukumpulkan buku-buku tentang Islam, diantara yang saya miliki adalah terjemahan al-Qur’an dalam bahasa Italia, yang pernah saya beli ketika berkeliling ke berbagai negeri.

Setelah kutelaah buku-buku tersebut, saya berkesimpulan bahwa Islam tidak seperti yang dipahami oleh mayoritas orang-orang barat, yaitu sebagai agama pembunuh, perampok dan teroris akan tetapi yang saya dapati adalah Islam itu agama kasih sayang dan petunjuk, serta sangat dekat dengan makna hakiki dari Taurat dan Injil.

Kemudian saya putuskan untuk kembali ke al-Quds, karena saya yakin bahwa al-Quds adalah tempat turunnya kerasulan terdahulu, akan tetapi kali ini saya menaiki pesawat terbang dari Italia menuju al-Quds. Saya turun di tempat turunnya para pendeta dan peziarah dibawah panduan hause bus Armenia di daerah negeri kuno. Di dalam tasku, saya tidak membawa sesuatu kecuali sedikit pakaian, terjemahan al-Qur’an, Injil dan Taurat. Kemudian saya mulai membaca lebih banyak lagi dan lebih banyak lagi, saya membandingkan kandungan al-Qur’an dengan isi Taurat dan Injil, sehingga saya berkesimpulan bahwa kandungan al-Qur’an sangat dekat dengan ajaran Musa dan Isa ‘alaihimassalaam yang asli.

Selanjutnya saya mulai berdialog dengan kaum muslimin untuk menanyakan kepada mereka tentang Islam, sampai akhirnya saya bertemu dengan sahabatku yang mulia Wasiim Hujair, kami berbincang-bincang tentang Islam. Saya juga banyak bertemu dengan teman-teman, mereka menjelaskan kepada saya tentang Islam. Setelah itu, saudara Wasiim mengatakan kepadaku bahwa dia akan mengadakan suatu pertemuan antara saya dengan salah seorang dari teman-temannya para da’i.

Pertemuan itu berlangsung dengan saudara yang mulia Amjad Salhub, kemudian terjadilah perbincangan yang bagus tentang agama Islam. Diantara perkara yang paling mempengaruhiku adalah kisah sabahat yang mulia, Salman al-Farisi z, karena di dalamnya ada kemiripan dengan ceritaku tentang pencarian hakekat kebenaran.

Kami berkumpul lagi dalam pertemuan yang lain dengan saudara Amjad beserta teman-temannya, diantaranya fadhilatusy Syaikh Hisyam al-‘Arif –hafidhohulloh-, maka berlangsunglah dialog tentang Islam dan keagungannya, kebetulan ketika itu saya memiliki beberapa pertanyaan yang kemudian dijawab oleh Syaikh.

Setelah itu, saya terus menerus berkomunikasi dengan saudara Amjad yang dengan sabar menjelaskan jawaban atas mayoritas pertanyaan-pertanyaanku. Pada saat seperti itu di depan saya ada dua pilihan, antara saya mengikuti kebenaran atau menolaknya, dan saya sama sekali tidak sanggup menolak kebenaran tersebut setelah saya meyakini bahwa Islam adalah jalan yang benar.

Pada saat itu juga, saya merasakan bahwa waktu untuk mengucapkan kalimat tauhid dan syahadat telah tiba. Ternyata tiba-tiba saudara Amjad mendatangiku bertepatan dengan waktu dikumandangkannya adzan untuk shalat dhuhur. Waktu itu benar-benar telah tiba, sehingga tiada pilihan bagiku kecuali saya mengucapkan :

أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ

Saya bersaksi bahwa tiada sesembahan yang berhak disembah dengan benar kecuali Allah, dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan-Nya

Maka serta merta saudara Amjad memelukku dengan pelukan yang ramah, seraya memberikan ucapan selamat atas keIslamanku, kemudian kami sujud syukur sebagai ungkapan terima kasih kepada Allah atas anugerah nikmat ini. Kemudian saya diminta mandi ([1] Sebagaimana hadits Qoish bin ‘Ashim, Ketika beliau masuk Islam, Rasulullah memerintahkannya untuk mandi dengan air yang dicampur bidara. (HR. An-Nasai, at-Turmudzi dan Abu Daud. Dishohihkan oleh al-Albani dalam al-Irwaa’ (128).)) dan berangkat ke al-Masjid al-Aqsho untuk menunaikan shalat dhuhur,

Di tempat tersebut setelah shalat, saya menemui jamaah shalat dengan syahadat, yaitu persaksian kebenaran dan tauhid yang telah Allah anugerahkan kepadaku. Setelah saya mengetahui bahwa siapa saja yang masuk Islam wajib baginya berkhitan, maka segala puji dan anugerah milik Allah, saya tunaikan kewajiban berkhitan tersebut sebagai bentuk meneladani bapaknya para nabi, yaitu Ibrahim q yang melakukan khitan pada usia 80 tahun (Sebagaimana Rasulullah n bersabda : Ibrahim berkhitan ketika umur 80 tahun dengan “al-Qoduum” (nama alat atau tempat).( HR. Al-Bukhori (3356) dan Muslim (2370).)).

Itulah diriku, saya telah memulai hidup baru dibawah naungan agama kebenaran, agama yang penuh dengan kasih sayang dan cahaya. Saya senantiasa menuntut ilmu agama dari kitab Allah Ta’aala dan sunnah Rasulullah n sesuai dengan manhaj salaf (pendahulu) umat ini, dari kalangan para sahabat g beserta siapa saja yang mengikuti mereka dengan baik sampai hari kiamat.

Segala puji bagi Allah atas anugerah Islam dan as-Sunnah.


Dialihbahasakan oleh Abu Zahro Imam Wahyudi Lc. dari majalah ad-Da’wah as-Salafiyah-Palestina edisi perdana, Muharram 1427 H halaman: 21-24.


ummusalma.wordpress.com


Read More...
 

Romie's Blog

Akhwat.web.id

Nasihat Online